Bisakah kita berhenti pada satu pijakan dengan jalan
lurus tanpa rintangan? Tertawa setiap hari dengan orang-orang terkasih,
memperoleh kado yang berisi novel-novel terbaru dari penulis favorit, tidak ada
konflik, pertengkaran dan pertentangan, bisakah? That’s impossible! Bahkan
perlu kalian tahu sekedar berharap tidak bertemu dengan orang yang
sangat-sangat ingin kalian hindaripun itu sulit. Tuhan selalu menjawab
keinginan kalian dengan,”Maaf Aku tetap harus mempertemukan kalian dengan
caraKu,”. Lalu apakah Tuhan tidak melihat usaha kalian? Perasaan kalian? Bahkan
emosi yang sangat tertahan—entah perasaan geram, dongkol ataupun sedih—ketika
kalian melihat orang tersebut? Itu permasalahannya, maaf jika aku cenderung
menyalahkan Tuhan. Pada dasarnya aku hanya geram karena tak tahu apa
rencana-Nya yang selanjutnya. Percayalah bertemu dengan seseorang yang
seharusnya sudah lenyap dari hidup kita itu rasanya seperti….luka bakar yang
disiram perasan jeruk nipis! Tidak tahu rasanya? Coba bakar tangan kalian dan siram
dengan air jeruk nipis! Seperti itulah rasanya. Lebay dan alay? Ini pendapatku,
kalian dengarkan atau tidak…itu pilihan J. Sebal karena satu tali nyata yang tidak dapat
terputus tetap tersambung. Bukan, bukan status spesial dan lainnya. Tapi
sesuatu yang lebih sulit untuk dijelaskan namun juga menyiksa. Adil nggak sih,
ketika kalian tak tahu apa-apa tentang seseorang, tapi orang itu tahu segalanya
tentang kalian? Dan ketika suatu pemikiran tentang hal aneh di dunia yang belum
sempat terucap sama persis seperti apa yang diucapkan dengan orang itu? Itu
bencana! Kalian pikir setiap ikatan itu bernilai positif, bukan? Ini adalah
salah dua bukti bahwa ikatan tidak selalu menyenangkan!
Apa yang tidak bisa kujadikan nyata dalam kehidupanku akan kujadikan nyata dalam tulisanku ;)
Kamis, 21 November 2013
Sabtu, 09 November 2013
Kolaborasi Hujan, Guntur dan Guruh dalam Omen#3
Judul : Omen#3 : Misteri Organisasi Rahasia The Judges
Penulis : Lexie Xu
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun : Oktober 2013
Tebal : 312
halaman
Sumber:https://www.facebook.com/lexiexu.thewriter
Lexie Xu
adalah penulis kisah-kisah bergenre misteri dan thriller. Seorang Sherlockian, penggemar sutradara J. J Abrahams,
sangat menyukai serial televisi Alias,
dan fanatik dengan angka 47. Mempunyai dewa inspirasi atau Muse, F4/JVKV. Saat ini Lexie Xu tinggal di Bandung bersama
anaknya, Alexis Maxwell.
Sejauh ini
karyanya yang sudah beredar di pasaran adalah Omen Series (Omen dan Omen#2:
Tujuh Lukisan Horor) dan Johan Series (Obsesi, Pengurus MOS Harus Mati,
Permainan Maut dan Teror).
Cerita dimulai
dari pengenalan tokoh seperti, Erika Guruh, sang pemilik ingatan fotografis.
Valeria Guntur, seorang yang tak dikenal tapi mengejutkan—kabarnya dia mendapat
semua kemampuannya dari latihan keras pantang menyerah tiap harinya. Dan Rima
Hujan, pelukis berbakat yang mirip dengan Sadako—ini kata Erika. Mereka bertiga
berkolaborasi dalam penyelesaian misteri penganiayaan yang menghilangkan banyak
bakat. Dari Hadi seorang pebasket berbakat yang tempurung lututnya dihancurkan
hingga tak berbentuk, hingga pesepak bola andalan SMA Harapan Nusantara yang
kakinya tertancap paku—kabarnya ditancapkan dengan nail gun.
Erika merasa
sangat terhina, karena para pelaku dapat membuat kejadian heboh itu di daerah
kekuasaannya, Valeria merasa tertantang dengan adanya kasus baru dan Rima…dia
sebenarnya memilih menghindar karena takut akan jadi korban selanjutnya. Tapi
apa daya, jika dia mundur dari seleksi anggota The Judges dia akan dikeluarkan
dari sekolah. Jadilah ketiga anak luar biasa tersebut bersikeras membongkar
kasus dan…tak sia-sia, di hari terakhir seleksi mereka menemukan pelakunya yang
ternyata adalah Lindy dan Dicky! Sekalipun Erika tidak bisa beraksi karena
kakinya terkena nail gun.
Keberhasilan mereka tidak lepas dari bantuan si Ojek, si Obeng dan juga
Inspektur Lukas.
Dari sekian
banyak karangan Lexie, mungkin Omen#3 ini bukanlah karangan yang sangat
menakutkan dan alurnya terlalu biasa karena tidak ada kejutan seperti pada Omen
dan Omen#2. Ditambah lagi pengerjaan novel Omen seri ketiga ini terkesan
buru-buru. Namun dibalik itu semua, Omen#3 ini mempunyai cover yang menarik dan
mendukung tema yang diambil. Di samping itu juga cara penulisan dan penggunaan
kata yang mudah dicerna membuat para pembaca tidak sulit memahami, apalagi
Lexie Xu mempunyai selera humor cukup tinggi—bisa dibayangkan, anda tertawa
saat membaca novel misteri pasti akan membuat orang lain penasaran akan novel
ini.
Omen#3 dan
karya-karya Lexie yang lain sebenarnya dapat dibaca segala usia, namun karena
ada unsur romannya menurut saya lebih cocok untuk para remaja yang menyukai
misteri dan pemecahannya dengan diselingi adegan-adegan action luar biasa.
Senin, 28 Oktober 2013
Masalah "Remaja" dan Pelarian Akhirnya~
Jika
kalian sedang dalam kesakitan, apa yang kalian pilih? Kesakitan nyata berujung
atau…kesakitan gamblang yang tak berujung? Percayalah aku telah melalui dua hal
itu dalam hitungan 3 tahun ini. Mengenaskan? Tidak seberapa, malah aku
beranggapan aku adalah seseorang paling kuat di antara anak seusiaku
lainnya—aku mengabaikan masalah mereka. Dewasa? Itu kata atau sikap wajib yang
telah dimiliki setelah semua berlalu walau masih ada yang mengatakanku
manja—aku sangat tidak setuju dengan mereka tapi terkadang kupikir itu wajar,
siapa yang bisa menjamin remaja 16 tahun yang rentan dengan emosinya dan masih
dalam asuhan orang tuanya adalah sesorang yang telah dewasa?. Aku tidak pernah
berpikir memiliki perjalanan rumit ini. Ketidak pastian ada bersamaku saat ini
tapi aku sedang mencoba mengakhirinya. Dengan jalan menerima semua dan kembali
pada seorang sahabat lama—aku baru menyadari bahwa hanya kepadanya semua terasa
jujur. Dia adalah orang ke-3 yang memahamiku setelah mama dan aku. Mungkin
sekarang kalian bingung kenapa aku meletakkan diriku pada urutan kedua. Hei,
tapi itu memang benar terjadi, bung. Beliau lebih memahamiku daripada diriku
sendiri, aku pikir itu bukan sesuatu yang aneh jika kalian memiliki hubungan
yang sangat-sangat dekat dengan seseorang, kan? Kalian masih bingung? Oke aku
tahu kebingungan kedua kalian, kenapa aku tidak kembali pada beliau saja, kan?
Kalian salah, seseorang yang memahami kita bukan berarti seseorang yang harus
kita jadikan pelarian akhir. Apalagi posisi sebagai orang tua agak membatasi
peran itu. Percayalah, aku bukan tipe remaja yang…bisa menceritakan masalah
“remaja” pada orang tuaku. Aku takut salah bertindak, lebih tepatnya…malu—ini
masalah remaja juga.
20:47
28/10/2013Jumat, 27 September 2013
Ayunan Senja dan Kemunafikan
Sesederhana itu memegang ayunan yang terhempas angin sore.
Kesana kemari, terisi oleh kegembiraan berwarna senja. Betapa indahnya bila
hidup seperti itu. Ikut terombang-ambing karena angin tetapi tetap bahagia
isinya. Andai…kata sederhana itu hanya jadi kata yang tak berarti jika terus
berdiam, tak berkata, tak melakukan kemajuan dan hanya termenung oleh
kemenangan yang tertunda. Dorongan dari sang pemberi senyuman sedang sangat
dibutuhkan saat itu. Dan datanglah angin sepoi penggembira. Dia mencoba mendorong
ayunanmu kembali. Mulai membuatmu tersenyum hingga kalut akan kebahagiaan saat
ayunan bergerak sangat kencang. Mudah memang, sesimple menulis ini. Tapi dalam
kenyataannya? Entahlah, aku juga tak mau terlihat terlalu berundung pada
kemunafikan.
Berbicara
tentang kemunafikan, akhir-akhir ini aku sedang dalam lingkaran hitam
kemunafikan. Canggung, bingung dan tak betah bila bertemu dengan sang sumber
kemunafikan. Penyebabnya memang hal sepele, persahabatan. Tapi untuk orang
sepertiku yang memuja persahabatan, sahabat adalah segalanya—sekalipun
terkadang aku egois dengan mereka, mereka tetap segalanya. Aku sebenarnya juga
sudah muak dengan hal munafik ini, tapi mau bagaimana? Sang sumber kemunafikan
berlagak sok polos dan tak merasa bersalah. Bingung juga. Jika terus mengalah,
sampai kapaaaaan? Kesabaran bagiku ada batasnya, karena aku adalah pemula di
bidang kehidupan cabang kesabaran. Semoga ada jalan atas semuanya. Karena aku
bosan berlagak senang yang sebenarnya tidak J
3:20/27 September 2013
Minggu, 25 Agustus 2013
Sesederhana Ini
Pernah tahu rasanya kekecewaan terhadap apapun yang ada di dunia? Termasuk diri kalian? Lalu bicara keadilan di sana? Jangan berharap! Mengharap keadilan pada dunia sama saja mengharap mamooth si binatang purba yang telah punah kembali hidup. Jadi, miris sekali memang. Suatu hari permasalahan datang beruntun tanpa memikirkan bagaimana kalian, jangan menyerah. Ini baru awal. Awal dari sebuah kedewasaan yang tumbuh seiring berkurangnya umur kalian untuk menyiksa diri di dunia fana. Persahabatan adalah salah satu dari sekian juta topik permasalahan. Biasanya karena kesalah pahaman yang berujung keretakan. Kuncinya sederhana…yaitu kepercayaan dan komunikasi. Salah satu diam memendam mungkin suatu hari akan jadi bumerang. Tapi tidak dengan jika salah satu berbicara walau akhirnya akan ada sebuah keretakan. Silahkan pilih kecanggungan tak berbatas karena adanya sebuah rahasia atau…kejujuran yang bakal berbuah perpecahan? Buah simalakama memang, tapi inilah hidup. Pilih dan ambil resiko. Tidak mau hidup dalam lingkaran kebohongan, bukan? Tidak mau dibilang munafik karena selalu datang ketika hanya butuh, bukan? Buka kejujuran, selesaikan segalanya dengan pemikiran matang ;)
25 Agustus 2013
8:59 PM
Jumat, 05 Juli 2013
Kita Penyebabnya!
Pernahkah kalian merindukan kebebasan berekspresi dan
kejujuran menanggapi suatu hal? Ya keduanya tercermin pada masa kanak-kanak
kita. Bebas melakukan apa saja yang kita inginkan—pipis di sembarang tempat
misal—dan bebas berkata atau lebih tepatnya polos berucap apa saja—seperti
mengatakan bahwa dia tak suka seorang teman dari ibunya karena terlalu menor.
Kita kehilangan semua itu saat kita beranjaka dewasa. Ya memang 16 tahun
belumlah dewasa, tapi hei tinggal menghitung bulan saja aku mendapat KTP dan
SIM! Saat dewasa—atau remaja beranjak dewasa lebih tepatnya—kalian merasa
mendapat masalah yang kompleks, pusing dengan ulangan yang selalu remidi—ini
aku!—, pusing dengan tugas yang menumpuk, pusing dengan kumpulan cewek atau
cowok populer di depan kalian yang selalu menarik perhatian siapa saja sehingga
kalian terabaikan—sungguh mengenaskan…ckck—dan…pusing karena kesepian!
Sederhana sebenarnya, setelah kupikir panjang ternyata penyebabnya adalah…pikiran
kita. Kenapa? Itu karena orang dewasa selalu berpikir dahulu sebelum bertindak
dan akan merasa stres saat mendapat dampak kegagalan dari pemikirannya sebelum
bertindak itu. Mereka seolah-olah menyalahkan keadaan dan waktu. Padahal jika
dipikir dengan kepala dingin, merekalah penyebab dunia ini rumit, merekalah
penyebab keretakan dalam sebuah hubungan dan mereka jugalah penyebab dari
sebuah permusuhan! Bagaimana dengan keadilan? Jangan bicara tentang keadilan di
muka bumi ini, keadilan hanya khayalan di dunia fana ini! Jadi bias disimpulkan
bahwa KITA adalah penyebab permasalahan yang kompleks!
14:49
15-06-2013
Peran Alam Bawah Sadar terhadap Perasaan
Pada dasarnya secara tak langsung alam bawah sadar lebih
tau apa yang kita rasakan. Mereka, baik secara langsung atau tidak mencoba
mengeluarkan pikiran dari hati kita melalui sikap sehari-hari tanpa kita sadari.
Mereka bekerja dengan memunculkan perasaan itu misal saja dengan nyanyian. Seseorang
akan cenderung menyanyikan lagu yang baru saja mereka dengar secara
berulang-ulang. Namun saat seseorang tidak mendengar lagu apapun tetapi secara
terus menerus memikirkan lagu itu atau bahkan secara jelas menyanyikannya,
bagaimana dengan hal itu? Ya, itulah yang baru saja kusebut bahwa alam bawah
sadar sedang bekerja untuk memunculkan perasaan sebenarnya yang terjadi pada
diri kita. Sebuah fakta lagi bahwa seseorang cenderung menyimpan beberapa hal
yang tidak ingin ia umbar ke masyarakat atau juga dia sengaja tidak mengakui
apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya—terutama perasaanya—ini terjadi karena
biasanya dia gengsi. Di sinilah peran alam bawah sadar sangat dibutuhkan. Bagaimana?
Mulai percaya dengan pengamatanku? Oke kalian percaya akan kubeberkan sebuah
cerita yang benar-benar terjadi pada salah seorang temanku. Sebut saja dia
Faya.
Faya berdiam diri
di kamar. Dia termenung sambil duduk di lantai yang mana di depannya sekarang
ada sebuah buku dan bulpoin. Faya mengambil kedua benda tersebut. Awalnya ia
bingung apa yang akan ia lakukan dengan kedua benda tersebut. Pada akhirnya
Faya hanya mencorat-coret lembaran kosong dari buku tersebut. Bosan dengan
coretan yang tak jelas dia berganti menggambar sebuah bunga—dia bilang dia hobi
menggambar flora—yang kemudian iseng dia tanda tangani. Sebal karena gambarnya
tak seberapa bagus dia diam sejenak dan tiba-tiba muncul potongan lirik lagu
When You’re Gone-nya Avril Lavigne. Karena memang bingung apa yang akan dia
lakukan dengan lembaran putih di depannya, dia menuliskan potongan lirik lagu
tersebut dengan besar-besar. Lalu dia terdiam lagi sambil memandangi tulisannya
dan membaca ulang lirik lagu itu. Dia bingung mengapa ia menuliskan potongan
lirik itu, padahal dia rasa dia sedang tidak kehilangan seseorang.
Beberapa
jam kemudian dia menghubungiku. Dia ceritakan kejadian yang mengganjal
pikirannya itu—dengan kata lain dia sedang bingung dengan apa yang sebenarnya
terjadi pada dirinya. Memang jika tak disadari, kejadian itu akan dianggap
sepele dan terabaikan. Tapi hei! Aku kemudian diam dan berpikir apa yang
sebenarnya terjadi pada Faya?! Ada 2 kemungkinan, yang pertama dia baru saja
mendengar lagu tersebut atau…dia memang benar-benar telah kehilangan seseorang
dan merindukannya. Untuk mencari kebenaran akau menanyakan pada Faya. Dia bilang
kemungkinan pertama sangat salah. Tapi dia juga membantah kemungkinan kedua. Kemudian
kubuka beberapa fakta yang terjadi pada dirinya akhir-akhir ini. Yap akhir-akhir
ini dia memang sedang terserang galau akut—alay dikit gapapa yah hehe—gara-gara
pisah kelas dengan ‘someone’nya. Dan terhitung sejak tanggal 1 kemarin itulah
hari terakhir dia bertemu dengan ‘someone’nya. Jadi, bagaimana? Lagu dan
kejadian-kejadian sebelumnya berkaitan, bukan? Hanya saja si Faya ini tidak
mengaku apa yang ia rasakan. Fix! Sekarang percaya dong dengan hasil
pengamatannku :p
19:08
5-06-2013
Selasa, 02 Juli 2013
For Penggalau
Bagiku
beberapa saja yang benar-benar hidup dalam kehidupan. Kebahagiaan, kesedihan
merekalah yang sedang kubicarakan. Setiap manusia mampu merasa hidup bila kedua
hal tersebut terjadi. Ya benar-benar nyata menangis karena kedua hal tersebut.
Apa kalian merasa cengeng bila menangis? Pertanyaanku agak lucu memang, tapi
menangis benar-benar masih menjadi hal yang terlarang bagiku. Apalagi untuk
kasus yang berjudul “cowok”. Bukan, bukan karena hal aku tak pernah mengalami
suatu hubungan, hanya aku berpikir jika dia memang menyakiti kita kenapa kau
harus rela meneteskan air berharga dari matamu untuknya. Air mata itu berharga
karena memang hanya orang-orang tertentu yang bisa mengeluarkannya. Dan mereka
tak masuk dalam satu list orang yang berharga itu!
Tertawalah
jika kalian pikir tulisanku ini lucu, sok kuat atau hal-hal lain yang mengejek.
Tapi hei, tolong, aku hanya ingin membuat orang-orang yang sedang sedih ini—re:
aku—sedikit terbuka dan tidak menangis lagi. Ya, aku memang sedang terbelenggu
dalam sebuah lingkaran yang aku sendiri merasa sangat sulit keluar dari sana.
Tapi toh semua masalah selalu ada penyelesaian. Jika tak ada penyelesaiannya
berarti itu bukan masalah, tapi hal bernama kenyataan yang harus dijalani,
diterima dengan lapang dan dihadapi dengan senyuman. Bualan memang, tapi aku
akan mencoba melakukan hal yang telah kutulis. Aku tak mau dibilang sebagai
sesuatu yang lemah, pembual dan lain-lain. Niat suci membuka mata para
penggalau—re: aku—agar tak selamanya tertingkap di dalam hal-hal fana yang
menyiksa ini. Selamat berjuang para penggalau, semoga mendapat kebahagiaan di
saat yang tepat! J
Senin, 01 Juli 2013
Perpisahan dan Move ON
Semua berhenti dikala cinta berbicara. Namun
cinta pun akan berhenti dikala kenyataan berkata. Perpisahan. Satu kata itu
sering menyakiti. Satu kata itu sering membuat kita sadar, bahwa apa yang telah
dipisahkan sebenarnya dibutuhkan. Dan satu kata itu sering membuat kita
berhenti pada satu lingkaran kelam yang membuat kita tak bisa maju. Aku dan
dia, mungkin memang bukan takdirnya menjadi kami. Aku selamanya aku, dan dia
akan juga selamanya menjadi dia. Aku dan dia dipisahkan oleh jarak, keinginan
dan...kesadaran. Jarak pada dasarnya bukan menjadi masalah utama, namun
keinginan dan kesadaran yang menjadi pokok permasalahan.
Setelah
perpisahan pastilah ada proses melupakan. Bukanlah hal mudah melupakan
seseorang yang pernah membuat kita selalu tersenyum, membuat kita yakin bahwa
hari esok akan lebih baik dan membuat kita sadar bahwa hari-hari bersamanya
adalah berharga. Hah sial! Mengapa harus ada yang namanya perpisahan? Apa dunia
tak ingin melihat manusia merasa bahagia dengan kebahagiaannya? Apa dunia
memang hanya menginginkan air mata? Semua pertanyaan itu berkelebat
dipikiranku. Merasa sendiri, tak berharga, dan separuh jiwa...hilang pergi
entah kemana.
NEPTUNUS vs DIARY
Untuk Neptunusku, “Hai, nus! Tahu nggak, dia
semakin jauh. Jauh dari pandanganku, jauh dari komunikasi dan jauh
dari...hatiku. Aku sedih semuanya jadi begini. UTS memang menyebalkan! Dia
menjauhkan kami! Dan juga sepertinya dia telah menemukan ‘pelabuhannya’.
Bagaimana menurutmu, nus? Apa aku harus diam, maju atau...mundur? Tunggu
perahu-perahu kertasku ya, nus J”
Untuk
Diaryku, “Dear diary, akhir-akhir ini menyebalkan! Semua seperti tak ada yang
indah. Aku dan dia sudah terentang jarak. Sebeeeeeeel!!! Sepertinya dunia pun
mendukung tentang kenyataan itu, hanya aku yang tak mau menerima. Aah tapi ya
sudahlah, anggap saja sebagai cobaan. Sudah dulu ya, udah malem nih, mau tidur
:p Byeeeee :D”
Mana
yang kamu pilih? Sebuah kejujuran tak terbatas atau...sebuah ungkapan hati? J
Senin, 24 Juni 2013
Peranakan
Hidup
sebagai 4 bersaudara dengan posisi anak perempuan pertama dan terakhir yang
untungnya lahir awal ada enak dan enggaknya. Enaknya, aku adalah anak yang
paling disayang hehe. Nggak enaknya ketika terjadi perang dunia. Aku punya 3
saudara lagi yang biasa kusebut tuyul berisik berwujud anak manusia—baca dengan
hati ikhlas Abi, Dio dan Aca. Mereka adalah musuh bebuyutan sedarahku. Mereka
adalah pengganggu kenyamanan hidupku. Sedikit cerita mengenai kehidupan kami…
Di suatu ketika, di malam yang
hening—tidak untuk rumah kami pastinya. 4 orang anak manusia dengan segala
kekreatifan dan keusilannya berulah. Si kakak cewek yang agak cowok sedang
nyaman di kamarnya. Di kamar sebelah dihuni oleh 3 ekor tuyul berisik yang
berwujud anak manusia. Mereka dengan kejam berteriak-teriak hingga mengganggu
si kakak. Awalnya si kakak cewek—kalo nggak mau dibilang cowok—masih sabar.
Tapi yang namanya anak remaja emosi masih labil, dia terganggu juga oleh
teriakan adik-adiknya yang berada di kamar sebelah. Dia bangkit dari kubur, eh
kasur dan langsung membuka pintu. Mendengar pintu kamar sebelah terbuka ketiga
ekor tuyul itu hening tanpa suara. Si kakak yang masih sebal mengetuk pintu
kamar ketiga ekor tuyul itu dengan kasar. Karena mereka takut, akhirnya mereka
memilih untuk tidak membukakan pintu untuk kakaknya. Ide usil sang kakak untuk
membalas dendam pun muncul. Dia merubah nada suaranya menjadi lembut dan
membujuk ketiga ekor adiknya untuk membukakan pintu dengan alasan takut di luar
sendiri.
Yang namanya anak kecil sekalipun berjumlah
lebih banyak dari orang gede otak mereka tak lebih dewasa dari kita. Mereka
bertiga tertipu oleh bujuk rayu maut sang kakak. Pintu terbuka, awalnya wajah
sang kakak masih halus dan lembut. Si adik pembuka pintu yang bertubuh tambun
membuka pintu semakin lebar dan…klak! Kunci kamar diambil si kakak. Dengan
cekatan dan lincah pintu ditutup kembali oleh sang kakak dan dia kunci dari
luar. “Buahahaha…rasain lo! Buat gara-gara sama gue sih! Buahahaha….” tawa sang
kakak meledak. Rencananya berhasil. Sekarang ketiga ekor anak manusia itu
sedang menggedor-gedor pintu dengan ganas meminta pintu dibuka. Tapi yang
namanya dendam kesumat, sang kakak malah tertawa terbahak-bahak semakin kencang
dan menyanyikan lagu kemenangan dari kaca kamar yang terhubung langsung dengan
kamar sang adik, “I’m the champion…I’m the champion….”. Mendengar nyanyian sang
kakak yang sangat senang melihat ketiga ekor adiknya tersiksa itu si tua yang
kurus tinggi ikut tertawa terbahak-bahak diikuti kedua ekor adik lainnya. “Ternyata
kakak yang selama ini dibanggakan mama, gila! Buahahaha….”.
Sekian ceritaku, bila ada salah
kata mohon dimaafkan. Karena aku hanyalah seorang anak manusia yang tidak
sempurna dan mengharapkan menjadi seorang penulis berskala dunia-akhirat.
Terima kasih. Wassalam J
Rabu, 19 Juni 2013
#AKU dan RASAKU#
Air mata yang tertahan
Mengingat masa lalu yang menyakitkan
Kau, Aku, Mereka hanya khayalan
Bersatu dalam jurang kesakitan
Hanya Aku yang bisa merasakan
Sakitnya hati yang terkhianati
Sesaknya dada
Terpenuhi rasa amarah yang membara
Gejolak perjuangan cinta
Yang terbuang sia-sia :')
Sorry, curcol dikit nih :'3
DUNIA yang KEJAM?
Gemerlapan bintang bertebaran di antara gelapnya malam
Mendung di awan menghalangi tegasnya cahaya bulan
Benih-benih cinta mulai tumbuh di hati yang kelam
Kesedihan menghalangi datangnya keceriaan
Aku tak lagi seperti aku
Mereka tak lagi seperti mereka
dan hidup serasa kurang bermakna
Diam, memendam, mengicau dalam hati,
seperti burung yang kehilangan suara
Muak, ingin lari namun tak mungkin,
itu yang selalu terasa
Aahh...dunia semakin kejam!
Menelan kebenaran-kebenaran yang ada
Merusak keadilan-keadilan yang mungkin tak terasa
Menghancurkan kepercayaan-kepercayaan yang tercipta
Menghempaskan tali persahabatan
NB: Ini hanya kiasan yg bisa mengartikan tentang dunia kalian tolong direnungin ya, thx for read! :)
# Dengarkanlah #
Untaian kata terajut dalam hati
Berjuta suara tersirat menjadi mimpi
Ini rasa bukan kata
Ini cinta bukan suara
Dengarkanlah wahai bintang
Disini aku berkata karena rasa
Disini aku bersuara karena cinta
Inilah aku yang berdiri
Inilah aku yang menanti ^_^
Senin, 17 Juni 2013
Mimpi (?)
“Liburan ke WBL dibatalkan!” Teriak mama bergema ke seluruh rumah. Semua anggota keluarga termasuk aku kaget dan melongo. Aah sial! Yang benar saja masa’ selama liburan seperti orang dipingit? Selalu di rumah? Aaaah! Aku nggak mauuuuu! Tapi aku bisa apa? Seharian ini mama hanya marah-marah entah apa yang menyebabkan beliau seperti itu. Aku bangun pun atas teriakan geram beliau. Aku bangun pukul setengah satu siang, maklumi sajalah aku baru bisa tertidur pukul setengah empat tadi.
Oh ya tadi aku mendapat mimpi yang...gimana ya? Dibilang indah ada jeleknya, dibilang buruk ada indahnya, susah deh pokoknya mendiskripsikannya, jadi aku ceritakan saja yaaa?
Aku berada di sebuah tempat, tempat itu kukenal sebagai sebuah gedung sekolah SD NU 1 Tratee, namun anehnya di sana ada guru-guru Sdku. Ya memang jarak antara Sdku dan SD NU ini dekat tapi bagiku masih terasa aneh. Aku melihat guru-guru melakukan berbagai aktivitas. Sebelum aku sampai di situ, aku mengalami satu kejadian, aku bisa dekat dengan cowok yang sedang kusuka dan kusayang saat ini, Hendra. Dia berubah 180o, dia sangat baik denganku dan berganti mengejar-ngejarku. Ketahuilah di dunia nyata dia sangat....cuek. Herannya lagi, aku menolaknya mentah-mentah namun dia tetap keukeuh mendekatiku.
Setelah dua kejadian itu, aku mengunjungi sebuah sekolah pinggiran dengan beberapa teman-teman SMPku. Anehnya sambutan di sana tak sehangat yang kubayangkan. Semua murid terlihat sinis terhadapku dan teman-temanku saat kami lewat. Tapi untunglah tidak dengan gurunya. Dan aku menganggap itu sebagai kemunafikkan.
Saat aku dan beberapa temanku keluar dari areal sekolah itu kami menemukan perkampungan yang semakin jauh mata memandang, perkampungan itu menanjak seperti berada didekat daerah pergunungan. Kami terus berjalan. Saat sudah sampai di daerah atas dan akan keluar dari areal perkampungan pinggiran itu, kami dihalangi oleh beberapa orang lelaki yang membawa pedang. Mereka meminta barang-barang kami. Karena kami takut, kami serahkan semuanya. Belum cukup dengan itu mereka meminta sesuatu lagi...
“Aku minta past tense!” Teriak salah satunya. Entah mengapa kami semua langsung berlari kabur. Namun dari arah belakang kami muncul orang-orang kampung yang ternyata sekongkol dengan mereka. Kami bingung, sudah tidak memikirkan teman, kami hanya memikirkan diri sendiri. Dari preman-preman tadi, mereka melempar tali yang sangat panjang, dan seperti hidup karena bisa tahu letak kami. Aku dan satu temanku terjerat tali tadi, yang lain berlari dangan ketakutan. Orang-orang kampung dan preman-preman itu melempar pedang dan menembaki kami dengan pistol laras pendek. Beberapa temanku tertancap pedang dan tewas seketika. Aku semakin ketakutan dan sedih. Aku menghindar sebisaku.
Lagi-lagi mereka meminta hal yang sama “Kami minta past tense!”. Aku pun sebal. Yang benar saja, setahuku itu salah satu jenis tenses di bahasa Inggris, bagaimana kami memberikan itu. Dasar orang-orang pinggiran nggak jelas! Seketika tanpa ba-bi-bu aku mebalas kata-kata mereka “Kami hanya punya simple past!”. Tiba-tiba tali yang tadi mengikat kami dilepas oleh preman-preman itu. Karena tali itu yang bergerak sangat kencang dan jalanan yang menurun aku dan satu temanku yang masih selamat terhempas. Aku sepertinya akan menabrak dinding seng di bagian pinggir yang tajam itu. Aku membayangkan ajalku akan segera datang dan semuanya akan terasa sakit, aku sangat takut lalu aku memejamkan mata. Entah bagaimana ceritanya aku dan satu temanku itu bisa selamat dari semua itu.
Kami berlari. Mencoba mencari pertolongan. Namun aku bingung harus mencari ke mana. Ke sekolah pinggiran tadi? Yang benar saja! Pertama kali kami datang sambutannya saja sudah seperti ingin menerkam kami, mana mau mereka membantu dan melindungi kami dengan mengorbankan nyawa mereka! Kami berdua terus berlari, warga kampung muncul kembali dengan pedang, parang dan pistol. Tamatlah sudah kami! Mereka mulai menyerang kami. Kami berlari sambil terus menghindar. Aku tak tahu bagaimana nasib satu temanku tadi. Karena aku tak sempat memikirkan dia, yang kupikirkan sekarang hanyalah bagaimana caranya aku bisa lolos dari semua ini dengan selamat!
Sampai di sekolah pinggiran tadi. Aku mencoba bersembunyi di sebuah kelas. Di sana ada seorang guru perempuan dan dua hingga tiga murid perempuan yang tak berkerudung. “Aku sembunyi di sini ya?” Kataku. Tanpa disangka-sangka salah satu murid berteriak memberitahu warga bahwa ada aku di sini. Jelas saja aku langsung bangkit dan keluar kelas. Sebelum keluar kelas aku menatap murid yang berteriak tadi dengan tatapan bagaimana-kamu-tega-melakukan-ini dan kamu tahu? Dia menatapku dengan tatapan kemenangan. Aku sebal dan berlari keluar.
Aku kebingungan berlari-lari mengitari sekolah itu untuk mencari pertolongan. Hingga suatu ketika kutemui gerombolan sekolahku berasal. Di sana ada kepsekku, beberapa guru-guruku, teman-teman satu sekolahku dan penghuni sekolah ini tentu saja. Seperti kunjungan pada umumnya, petinggi di sekolah tuan rumah menunjukkan beberapa Icon unggulan sekolah mereka dan semua tamu merasa terkesan. Aku berlari ke arah mereka. “Paaaaak, tolong saya paaaaak!” Teriakku. Seketika semua mata dari gerombolan itu menatapku. Termasuk kepsek. Aku langsung mencoba menyatu dengan gerombolan itu dan berharap mendapat perlindungan. Semua diam. Hening. Para warga pun menghentikan serangan mereka.
Namun tak lama kemudian, mereka kembali menyerang kami. Satu pedang dilemparkan ke arah kami. Aku dan teman-temanku merunduk, dan akhirnya sang kepseklah yang terkena dan langsung roboh seketika. Mereka kembali menyerang dengan pedang secara beruntun. Satu persatu temanku roboh. Hingga tinggal segelintir termasuk aku, seorang teman cowokku dan adik-adik kelasku. Adik kelasku sudah pasti tak bisa diharapkan lagi, malah mereka yang harus kulindungi. Sebagai cowok tertua di gerombolan kami, teman cowokku itu merasa bertanggung jawab atas keselamatan kami. Dia maju dan merentangkan tangan. Aku dan adik-adik kelasku merunduk di belakangnya. Ya Allah selamatkan kami. Batinku.
Para warga kembali menyerang dan sasaran kali ini adalah teman cowokku itu. Ketahuilah di dunia nyata dia sangat dekat denganku, bahkan sudah kuanggap seperti adik. Sekalipun dia lebih muda dariku, dia sangat berjiwa pelindung. Jadi tak heran jika saat ini dia mengumpankan dirinya untuk melindungi kami. SRIIIIIING, CEK! Pedang itu tepat menancap di dada teman cowokku itu. Dan aku herannya dia tak menghindar. Seperti mengikhlaskan dirinya untuk menyelamatkan kami. Dia roboh. Tidaaaak satu-satunya pelindungku telah roboh! Semua berteriak. Aku dan adik kelasku masih bergerombol. Para warga masih menyerang kami. Kami merunduk guna melindungi diri. Satu persatu anak di depanku roboh. Tinggal satu orang di depanku. Aku berlari mundur memajukan mereka. Bukannya egois, namun jika saat ini beranggapan bahwa harus menyelamatkan mereka dan mengorbankan nyawaku, itu akan sia-sia. Karena sepertinya mereka menyerang tanpa ampun. aku belajar dari kejadian yang baru saja menimpa teman cowokku tadi. Aku sangat salut dengannya.
Setelah gerombolanku semakin sedikit, aku memutuskan untuk berlari lagi. Tak lama kemudian aku sampai di suatu sekolah setaraku, SMP. Sepertinya murid-murid di sana tak menyadari keberadaanku. Aku mencoba menyatu. Aku berkeliling mencoba mencari mungkin masih ada teman-temanku yang masih selamat dan akan kuajak mereka meninggalkan perkampungan gila ini secepatnya. Aku menemukan satu teman dan seperti rencana awal, aku langsung mengajaknya pergi. Namun tak disangka-sangka, kami ketahuan. Akhirnya sebelum kami keluar dari areal sekolah kami sudah diburu dengan murid-murid di sekolah ini. Namun kami tetap tak gentar. Kami melanjutkan perjalanan. Semakin lama, semakin banyak yang memburu. Lalu temanku akhirnya roboh. Dan aku memutuskan kembali ke areal sekolah itu. Aku nggak berani berjuang sendiri melawan orang-orang gila ini.
Lagi-lagi di sekolah itu, aku menemukan satu teman dan masih sama dengan yang pertama, kami ingin pulang. Lalu kami berjuang menghindari semua serangan. Namun, lagi-lagi gagal! Aku mulai putus asa. Aku nggak tahu harus bagaimana. Lambat laun pasti mereka akan tahu aku ada diantara mereka dan mereka membunuhku dengan pedang mereka, namun jika aku terbunuh bagaimana dengan keluargaku? Aku nggak tega melihat mereka menangis.
Di saat seperti ini, ketika istirahat aku menemukan Yani di kantin. Aku menyapanya dan mengajaknya keluar dari daerah ini. Dia mau namun sepertinya agak berat dan kurang suka dengan keputusanku. Namun aku tak menghiraukan itu.
Keesokan harinya kami menjalankan rencana. Namun kami terhalang oleh seorang cowok asal sekolah itu yang dikenal dengan kePlay boy-annya dan sifat sok keBosannya. Dia menyukai Yani dan nggak mau Yani pergi dari sini sebelum dia menerima cintanya. Dia menahan Yani. Karena sebal dengan sikapnya yang menghalangi kami. Aku melepaskan tarikan tangannya dari Yani dan kami lari. Karena tak terima dengan perlakuanku dan sakit hati dengan Yani, dia memburu kami. Masih sama dengan kejadian pertama dan kedua, kami juga diburu dengan warga namun kali ini kami mendapat kendaraan. Tapi jika dipikir sama saja, malah bertambah susah. Karena yang mengejar kami juga memakai kendaraan dan keadaan jalanan yang menanjak membuat kami susah untuk bergerak menggunakan kendaraan ini.
Hari pertama, sukses kami selamat. Hingga keesokan harinya kami akan melanjutkan perjalanan setelah sebelumnya kami berhenti di sebuah bangunan bekas sekolah. Sebelum melanjutkan perjalanan kami sarapan terlebih dahulu. Nah saat sarapan ini menjadi waktu terakhir aku bertemu dengan Yani. Ya tanpa diduga si cowok yang naksir dengan Yani menemukan kami, lalu dia dengan anak buahnya menyerang kami. Dengan pengalaman berkali-kali lolos dari serangan maut aku kembali selamat, namun tidak dengan Yani. Dia terkena satu serangan di dadanya dan langsung roboh ke belakang. Aku tak sampai hati melihat jasadnya. Tega benar cowok itu, seharusnya dia dapat berpikir, sekalipun tak bisa memiliki Yani biarkanlah dia selamat, dasar Bajingan! Begini ini aku merasa bersalah, seharusnya kemarin kubiarkan Yani menerima cinta cowok gila itu dan dengan begitu dia bisa menjaga kami dan kami berdua selamat aaaaah! Tapi ya sudahlah, semua sudah berlalu, aku masih harus berjuang demi nyawa dan keluargaku!
Akhirnya aku memutuskan untuk pulang sendiri. Aku melawan habis-habisan para warga dan anak-anak sekolah pinggiran itu dengan tangan kosong, tanpa senjata. Aku berpikir betapa hebatnya aku. Di saat aku akan menang ternyata mereka menjebakku lalu mereka menyerahkanku ke polisi. Aku nggak salah atas semua ini, namun semua bukti mengarah kepadaku. Aku tak bisa apa-apa. “Ayo kamu harus ikut kami ke kantor polisi!” Kata salah satu bapak Polisi itu. Akhirnya aku menangis. Betapa beratnya cobaan yang sedang kuhadapai saat ini. Ya Allah aku hanya ingin bertemu keluargaku. Aku masih menangis. Berjuta tetesan air mata keputus-asaan mengalir deras dari mataku. Polisi itu pun tak tega denganku. “Pak hiks hiks boleh saja minta satu permintaan?” Kataku. “Baiklah, kamu minta apa?” Kata beliau. “Sa sa ya ingin bertemu mama, pak hiks hiks hiks” Aku berkata sambil masih menangis. Beliau mengangguk lalu membawaku masuk mobil. Sebelum aku masuk ke mobil polisi itu aku sempat mengirim satu sms untuk mama yang mengabarkan bahwa aku akan pulang dan aku sayang mama. Ketahuilah, yang keluargaku tahu saat ini aku sedang melakukan study tour ke salah satu sekolah pinggiran dengan sekolahku, tapi apa? Aku pulang dengan tuduhan yang bisa membuatku masuk penjara, mana mungkin aku bisa mengatakan semua ini kepada keluargaku terutama mama yang sudah membiayaiku untuk kegiatan ini?
Saat sampai di rumah, aku turun dengan digiring polisi di sisi kanan dan kiriku. Mama dan anggota keluargaku yang lain keluar, aku langsung memeluk beliau, kemudian dilanjut memeluk keluargaku yang lain. Kami menangis. Aku pun tak menyangka kami bisa berkumpul lagi sekalipun nantinya aku harus mendekam di penjara. Dan salutnya lagi mama percaya bahwa aku sebenarnya tidak bersalah. Karena tak mau dipenjara akhirnya aku kabur. Kedua polisi itu pun mengejarku. Mama membantuku. Mereka menembaki kami. Dengan gagah beraninya aku dan mama menghindar. Satu polisi berhasil mama tangkap dan lumpuhkan, sedang polisi satunya lagi terus memojokkanku. Aku semakin terpojok, akhirnya aku memutuskan untuk maju mendekat dan mengambil pistol polisi itu. Sial sebelum berhasil kurebut polisi itu menutup kode pemakaian pistol itu sehingga pistolnya tak dapat kugunakan lagi sebelum aku berhasil membuka kodenya. Aku masih berkutik dan mencoba menjebol kode itu. Kuputar-putar tombol yang ada dipegangan pistol itu namun tak berhasil juga.
Tiba-tiba......”Tiaaaaaaa, kamu mau bangun jam berapaaaa?” Teriak mama dari luar kamarku. Aaaah sial aku terbangun tanpa sempat menembak polisi tadi!
TAMAT
Langganan:
Postingan (Atom)