“Liburan ke WBL dibatalkan!” Teriak mama bergema ke seluruh rumah. Semua anggota keluarga termasuk aku kaget dan melongo. Aah sial! Yang benar saja masa’ selama liburan seperti orang dipingit? Selalu di rumah? Aaaah! Aku nggak mauuuuu! Tapi aku bisa apa? Seharian ini mama hanya marah-marah entah apa yang menyebabkan beliau seperti itu. Aku bangun pun atas teriakan geram beliau. Aku bangun pukul setengah satu siang, maklumi sajalah aku baru bisa tertidur pukul setengah empat tadi.
Oh ya tadi aku mendapat mimpi yang...gimana ya? Dibilang indah ada jeleknya, dibilang buruk ada indahnya, susah deh pokoknya mendiskripsikannya, jadi aku ceritakan saja yaaa?
Aku berada di sebuah tempat, tempat itu kukenal sebagai sebuah gedung sekolah SD NU 1 Tratee, namun anehnya di sana ada guru-guru Sdku. Ya memang jarak antara Sdku dan SD NU ini dekat tapi bagiku masih terasa aneh. Aku melihat guru-guru melakukan berbagai aktivitas. Sebelum aku sampai di situ, aku mengalami satu kejadian, aku bisa dekat dengan cowok yang sedang kusuka dan kusayang saat ini, Hendra. Dia berubah 180o, dia sangat baik denganku dan berganti mengejar-ngejarku. Ketahuilah di dunia nyata dia sangat....cuek. Herannya lagi, aku menolaknya mentah-mentah namun dia tetap keukeuh mendekatiku.
Setelah dua kejadian itu, aku mengunjungi sebuah sekolah pinggiran dengan beberapa teman-teman SMPku. Anehnya sambutan di sana tak sehangat yang kubayangkan. Semua murid terlihat sinis terhadapku dan teman-temanku saat kami lewat. Tapi untunglah tidak dengan gurunya. Dan aku menganggap itu sebagai kemunafikkan.
Saat aku dan beberapa temanku keluar dari areal sekolah itu kami menemukan perkampungan yang semakin jauh mata memandang, perkampungan itu menanjak seperti berada didekat daerah pergunungan. Kami terus berjalan. Saat sudah sampai di daerah atas dan akan keluar dari areal perkampungan pinggiran itu, kami dihalangi oleh beberapa orang lelaki yang membawa pedang. Mereka meminta barang-barang kami. Karena kami takut, kami serahkan semuanya. Belum cukup dengan itu mereka meminta sesuatu lagi...
“Aku minta past tense!” Teriak salah satunya. Entah mengapa kami semua langsung berlari kabur. Namun dari arah belakang kami muncul orang-orang kampung yang ternyata sekongkol dengan mereka. Kami bingung, sudah tidak memikirkan teman, kami hanya memikirkan diri sendiri. Dari preman-preman tadi, mereka melempar tali yang sangat panjang, dan seperti hidup karena bisa tahu letak kami. Aku dan satu temanku terjerat tali tadi, yang lain berlari dangan ketakutan. Orang-orang kampung dan preman-preman itu melempar pedang dan menembaki kami dengan pistol laras pendek. Beberapa temanku tertancap pedang dan tewas seketika. Aku semakin ketakutan dan sedih. Aku menghindar sebisaku.
Lagi-lagi mereka meminta hal yang sama “Kami minta past tense!”. Aku pun sebal. Yang benar saja, setahuku itu salah satu jenis tenses di bahasa Inggris, bagaimana kami memberikan itu. Dasar orang-orang pinggiran nggak jelas! Seketika tanpa ba-bi-bu aku mebalas kata-kata mereka “Kami hanya punya simple past!”. Tiba-tiba tali yang tadi mengikat kami dilepas oleh preman-preman itu. Karena tali itu yang bergerak sangat kencang dan jalanan yang menurun aku dan satu temanku yang masih selamat terhempas. Aku sepertinya akan menabrak dinding seng di bagian pinggir yang tajam itu. Aku membayangkan ajalku akan segera datang dan semuanya akan terasa sakit, aku sangat takut lalu aku memejamkan mata. Entah bagaimana ceritanya aku dan satu temanku itu bisa selamat dari semua itu.
Kami berlari. Mencoba mencari pertolongan. Namun aku bingung harus mencari ke mana. Ke sekolah pinggiran tadi? Yang benar saja! Pertama kali kami datang sambutannya saja sudah seperti ingin menerkam kami, mana mau mereka membantu dan melindungi kami dengan mengorbankan nyawa mereka! Kami berdua terus berlari, warga kampung muncul kembali dengan pedang, parang dan pistol. Tamatlah sudah kami! Mereka mulai menyerang kami. Kami berlari sambil terus menghindar. Aku tak tahu bagaimana nasib satu temanku tadi. Karena aku tak sempat memikirkan dia, yang kupikirkan sekarang hanyalah bagaimana caranya aku bisa lolos dari semua ini dengan selamat!
Sampai di sekolah pinggiran tadi. Aku mencoba bersembunyi di sebuah kelas. Di sana ada seorang guru perempuan dan dua hingga tiga murid perempuan yang tak berkerudung. “Aku sembunyi di sini ya?” Kataku. Tanpa disangka-sangka salah satu murid berteriak memberitahu warga bahwa ada aku di sini. Jelas saja aku langsung bangkit dan keluar kelas. Sebelum keluar kelas aku menatap murid yang berteriak tadi dengan tatapan bagaimana-kamu-tega-melakukan-ini dan kamu tahu? Dia menatapku dengan tatapan kemenangan. Aku sebal dan berlari keluar.
Aku kebingungan berlari-lari mengitari sekolah itu untuk mencari pertolongan. Hingga suatu ketika kutemui gerombolan sekolahku berasal. Di sana ada kepsekku, beberapa guru-guruku, teman-teman satu sekolahku dan penghuni sekolah ini tentu saja. Seperti kunjungan pada umumnya, petinggi di sekolah tuan rumah menunjukkan beberapa Icon unggulan sekolah mereka dan semua tamu merasa terkesan. Aku berlari ke arah mereka. “Paaaaak, tolong saya paaaaak!” Teriakku. Seketika semua mata dari gerombolan itu menatapku. Termasuk kepsek. Aku langsung mencoba menyatu dengan gerombolan itu dan berharap mendapat perlindungan. Semua diam. Hening. Para warga pun menghentikan serangan mereka.
Namun tak lama kemudian, mereka kembali menyerang kami. Satu pedang dilemparkan ke arah kami. Aku dan teman-temanku merunduk, dan akhirnya sang kepseklah yang terkena dan langsung roboh seketika. Mereka kembali menyerang dengan pedang secara beruntun. Satu persatu temanku roboh. Hingga tinggal segelintir termasuk aku, seorang teman cowokku dan adik-adik kelasku. Adik kelasku sudah pasti tak bisa diharapkan lagi, malah mereka yang harus kulindungi. Sebagai cowok tertua di gerombolan kami, teman cowokku itu merasa bertanggung jawab atas keselamatan kami. Dia maju dan merentangkan tangan. Aku dan adik-adik kelasku merunduk di belakangnya. Ya Allah selamatkan kami. Batinku.
Para warga kembali menyerang dan sasaran kali ini adalah teman cowokku itu. Ketahuilah di dunia nyata dia sangat dekat denganku, bahkan sudah kuanggap seperti adik. Sekalipun dia lebih muda dariku, dia sangat berjiwa pelindung. Jadi tak heran jika saat ini dia mengumpankan dirinya untuk melindungi kami. SRIIIIIING, CEK! Pedang itu tepat menancap di dada teman cowokku itu. Dan aku herannya dia tak menghindar. Seperti mengikhlaskan dirinya untuk menyelamatkan kami. Dia roboh. Tidaaaak satu-satunya pelindungku telah roboh! Semua berteriak. Aku dan adik kelasku masih bergerombol. Para warga masih menyerang kami. Kami merunduk guna melindungi diri. Satu persatu anak di depanku roboh. Tinggal satu orang di depanku. Aku berlari mundur memajukan mereka. Bukannya egois, namun jika saat ini beranggapan bahwa harus menyelamatkan mereka dan mengorbankan nyawaku, itu akan sia-sia. Karena sepertinya mereka menyerang tanpa ampun. aku belajar dari kejadian yang baru saja menimpa teman cowokku tadi. Aku sangat salut dengannya.
Setelah gerombolanku semakin sedikit, aku memutuskan untuk berlari lagi. Tak lama kemudian aku sampai di suatu sekolah setaraku, SMP. Sepertinya murid-murid di sana tak menyadari keberadaanku. Aku mencoba menyatu. Aku berkeliling mencoba mencari mungkin masih ada teman-temanku yang masih selamat dan akan kuajak mereka meninggalkan perkampungan gila ini secepatnya. Aku menemukan satu teman dan seperti rencana awal, aku langsung mengajaknya pergi. Namun tak disangka-sangka, kami ketahuan. Akhirnya sebelum kami keluar dari areal sekolah kami sudah diburu dengan murid-murid di sekolah ini. Namun kami tetap tak gentar. Kami melanjutkan perjalanan. Semakin lama, semakin banyak yang memburu. Lalu temanku akhirnya roboh. Dan aku memutuskan kembali ke areal sekolah itu. Aku nggak berani berjuang sendiri melawan orang-orang gila ini.
Lagi-lagi di sekolah itu, aku menemukan satu teman dan masih sama dengan yang pertama, kami ingin pulang. Lalu kami berjuang menghindari semua serangan. Namun, lagi-lagi gagal! Aku mulai putus asa. Aku nggak tahu harus bagaimana. Lambat laun pasti mereka akan tahu aku ada diantara mereka dan mereka membunuhku dengan pedang mereka, namun jika aku terbunuh bagaimana dengan keluargaku? Aku nggak tega melihat mereka menangis.
Di saat seperti ini, ketika istirahat aku menemukan Yani di kantin. Aku menyapanya dan mengajaknya keluar dari daerah ini. Dia mau namun sepertinya agak berat dan kurang suka dengan keputusanku. Namun aku tak menghiraukan itu.
Keesokan harinya kami menjalankan rencana. Namun kami terhalang oleh seorang cowok asal sekolah itu yang dikenal dengan kePlay boy-annya dan sifat sok keBosannya. Dia menyukai Yani dan nggak mau Yani pergi dari sini sebelum dia menerima cintanya. Dia menahan Yani. Karena sebal dengan sikapnya yang menghalangi kami. Aku melepaskan tarikan tangannya dari Yani dan kami lari. Karena tak terima dengan perlakuanku dan sakit hati dengan Yani, dia memburu kami. Masih sama dengan kejadian pertama dan kedua, kami juga diburu dengan warga namun kali ini kami mendapat kendaraan. Tapi jika dipikir sama saja, malah bertambah susah. Karena yang mengejar kami juga memakai kendaraan dan keadaan jalanan yang menanjak membuat kami susah untuk bergerak menggunakan kendaraan ini.
Hari pertama, sukses kami selamat. Hingga keesokan harinya kami akan melanjutkan perjalanan setelah sebelumnya kami berhenti di sebuah bangunan bekas sekolah. Sebelum melanjutkan perjalanan kami sarapan terlebih dahulu. Nah saat sarapan ini menjadi waktu terakhir aku bertemu dengan Yani. Ya tanpa diduga si cowok yang naksir dengan Yani menemukan kami, lalu dia dengan anak buahnya menyerang kami. Dengan pengalaman berkali-kali lolos dari serangan maut aku kembali selamat, namun tidak dengan Yani. Dia terkena satu serangan di dadanya dan langsung roboh ke belakang. Aku tak sampai hati melihat jasadnya. Tega benar cowok itu, seharusnya dia dapat berpikir, sekalipun tak bisa memiliki Yani biarkanlah dia selamat, dasar Bajingan! Begini ini aku merasa bersalah, seharusnya kemarin kubiarkan Yani menerima cinta cowok gila itu dan dengan begitu dia bisa menjaga kami dan kami berdua selamat aaaaah! Tapi ya sudahlah, semua sudah berlalu, aku masih harus berjuang demi nyawa dan keluargaku!
Akhirnya aku memutuskan untuk pulang sendiri. Aku melawan habis-habisan para warga dan anak-anak sekolah pinggiran itu dengan tangan kosong, tanpa senjata. Aku berpikir betapa hebatnya aku. Di saat aku akan menang ternyata mereka menjebakku lalu mereka menyerahkanku ke polisi. Aku nggak salah atas semua ini, namun semua bukti mengarah kepadaku. Aku tak bisa apa-apa. “Ayo kamu harus ikut kami ke kantor polisi!” Kata salah satu bapak Polisi itu. Akhirnya aku menangis. Betapa beratnya cobaan yang sedang kuhadapai saat ini. Ya Allah aku hanya ingin bertemu keluargaku. Aku masih menangis. Berjuta tetesan air mata keputus-asaan mengalir deras dari mataku. Polisi itu pun tak tega denganku. “Pak hiks hiks boleh saja minta satu permintaan?” Kataku. “Baiklah, kamu minta apa?” Kata beliau. “Sa sa ya ingin bertemu mama, pak hiks hiks hiks” Aku berkata sambil masih menangis. Beliau mengangguk lalu membawaku masuk mobil. Sebelum aku masuk ke mobil polisi itu aku sempat mengirim satu sms untuk mama yang mengabarkan bahwa aku akan pulang dan aku sayang mama. Ketahuilah, yang keluargaku tahu saat ini aku sedang melakukan study tour ke salah satu sekolah pinggiran dengan sekolahku, tapi apa? Aku pulang dengan tuduhan yang bisa membuatku masuk penjara, mana mungkin aku bisa mengatakan semua ini kepada keluargaku terutama mama yang sudah membiayaiku untuk kegiatan ini?
Saat sampai di rumah, aku turun dengan digiring polisi di sisi kanan dan kiriku. Mama dan anggota keluargaku yang lain keluar, aku langsung memeluk beliau, kemudian dilanjut memeluk keluargaku yang lain. Kami menangis. Aku pun tak menyangka kami bisa berkumpul lagi sekalipun nantinya aku harus mendekam di penjara. Dan salutnya lagi mama percaya bahwa aku sebenarnya tidak bersalah. Karena tak mau dipenjara akhirnya aku kabur. Kedua polisi itu pun mengejarku. Mama membantuku. Mereka menembaki kami. Dengan gagah beraninya aku dan mama menghindar. Satu polisi berhasil mama tangkap dan lumpuhkan, sedang polisi satunya lagi terus memojokkanku. Aku semakin terpojok, akhirnya aku memutuskan untuk maju mendekat dan mengambil pistol polisi itu. Sial sebelum berhasil kurebut polisi itu menutup kode pemakaian pistol itu sehingga pistolnya tak dapat kugunakan lagi sebelum aku berhasil membuka kodenya. Aku masih berkutik dan mencoba menjebol kode itu. Kuputar-putar tombol yang ada dipegangan pistol itu namun tak berhasil juga.
Tiba-tiba......”Tiaaaaaaa, kamu mau bangun jam berapaaaa?” Teriak mama dari luar kamarku. Aaaah sial aku terbangun tanpa sempat menembak polisi tadi!
TAMAT