Senin, 27 Oktober 2014

Tertawakan Hidup!

                Jika kau bertanya apa yang wajib untuk kita tertawakan, maka jawabannya adalah hidup. Sandiwaranya, alurnya dan ceritanya begitu apik. Menempa orang menjadi ‘seseorang’, menghempas ‘seseorang’ menjadi orang. Langit tak melulu harus biru, oranye apalagi merah jambu. Terkadang kita perlu abu-abu. Dia itu pelengkap, seandainya kau lupa tentang tanah dan kulitmu. Naik itu tak harus menjatuhkan orang lain, berpindah pun tak harus menyingkirkan orang lain. Jika kau merasa dipermainkan oleh hidup, sesekali harus kau coba masa bodoh dengan mereka. Ini benar! Coba saja sehari tak memikirkan masalah hidup, kau akan terasa bebas! Tidak ada deadline tugas yang mengejar, bayangan guru killer memakanmu hidup-hidup, bayangan kepala sekolahmu yang selalu menyempritkan peluit kesayangannya selayak kita hanya segerombol sapi peliharaan. Kau akan tahu rasanya dunia begitu indah buahaha. Tapi sayangnya, tak semudah itu mengubah mindset tentang kehidupan yang serba menjebak, menjatuhkan dan melelahkan. Tapi tak ada salahnya jika dicoba, bukan? Kau pasti akan lebih tergiur merasakan kebebasan sehari daripada keterkekangan 18 tahun, bukan? Hahaha

Mata Angkasa


27/10/2014
Hihihihi

Jumat, 25 Juli 2014

Kisah Anggrek

                Pernah ngerasa bahwa tempat sandaran kalian biasanya adalah tempat paling berbahaya untuk permasalahan kalian? Mungkin itu yang sedang dirasakan oleh salah seorang temen gue. Sebut saja Anggrek. Kenapa gue pakai nama “Anggrek”, karena nama “Mawar” atau “Melati” dalam suatu kisah yang pemeran utamanya disensor itu udah terlalu mainstream, makanya gue pilih Anggrek buahaha. Udah deh langsung aja ke kisah ini. Cekibrooot….!
               
               “30 Oktober 2013, mungkin itu perubah segalanya. Seseorang dengan tegas memilih untuk pergi. Yaa jika saja kami punya ikatan mungkin bisa aku halangi, sayangnya tidak. Aku masih mengingat jelas saat itu. Saat di mana seorang remaja perempuan yang biasanya sangat tangguh berubah menjadi leburan timah panas meleleh ke segala penjuru arah. Sangat lemah! Lembek! Dan seperti tak punya tujuan. Namun panas, dan berapi menahan segala sesak di dada. Aah…sudahlah lupakan!

                Beberapa setelah hari “perubahan” itu aku menjadi seperti tanpa pegangan. Memang tak terpancar dari wajahku, tapi sahabat manapun yang aku miliki tahu itu. Hingga suatu ketika saat semua kejadian telah terlupakan, aku merasa sangat kesepian. Dan terlontar dari mulutku,”Hidup kok flat banget, nggak ada rasanya!” kalimat itu adalah awal dari semua cerita ini yang…benar-benar aku kutuk!

                Secara tiba-tiba permasalahan datang dari segala penjuru arah. Di mulai dari orang-orang yang paling dekat denganku seperti keluarga, sahabat dan guru-guruku hingga yang tak pernah kukenal. Ini seperti akhir dari segalanya, aiiish aku benar-benar mengutuk diriku!

                Memang bencana-bencana itu tak berjalan seberapa lama, tapi untuk kurun waktu 3 bulan penyelesaiannya sungguh tanpa terduga. Semua memang tak kembali seperti semula, tapi…berubah menjadi lebih baik. Di sini aku menemukan, ketulusan dan persahabatan berpamrih, pemanfaatan kelebihan tak berprasaan, seorang penghempas harapan, sumber ilmu yang membenciku dan masih banyak lagi.

                Hingga….saat ini. Aku menemukan masalah baru! Aku kembali jatuh cinta. Tidak, ini bukan jatuh cinta biasa. Aku jatuh cinta pada seseorang yang seharusnya tidak untuk dicintai lebih dari yang saat ini terjadi. Ya, dia sahabatku. Yang sudah kuanggap sebagai saudara sendiri. Entah virus apa yang menjalariku, tapi ini benar-benar tak boleh diteruskan. Aku membayangkan semua akan berubah dan rusak. Aku tak rela persahabatan selama 3 tahun yang telah kujaga rusak begitu saja karena urusan cinta monyet tak bermutu ini.

                Tapi ketahuilah, sisi lain dalam diriku mengatakan,”Cinta itu terlalu indah untuk dihalangi kehadirannya, mengapa mesti dihapus?”. Ketika itu pula aku goyah. Aku juga manusia biasa, bukan hanya seorang yang mereka anggap sebagai pemimpin. Aku pun butuh seseorang yang seharusnya mewarnai semuanya dan aku juga….iri pada mereka yang telah memiliki semua itu!

                Seperti biasanya, jika merasakan apapun aku harus mengatakannya pada seseorang. Tapi kali ini? Aku sungguh sangat bingung. Kepada siapa aku harus menceritakan semua perasaan aneh ini? Yang kubutuhkan saat ini adalah sosok pendengar yang baik, bukan penceramah yang sok ahli dalam cinta dan persahabatan. Untung saja aku jeli dalam melihat sosok teman-teman sekelasku, hingga kutemukan seseorang bernama Putri. Dan dialah yang menjadi pendengar kisahku dengan….”sahabatku” itu.

                Cerita kembali mulai. Sosok itu mulai membuatku gusar. Aku lebih baik kembali pada seorang perubah pada tanggal 30 Oktober lalu daripada harus jatuh cinta pada sahabatku. Terlihat mudah memang, tapi kalian tak pernah tahu perjalananku bersama sang pengubah gila itu. Entah dari sisi manapun yang kalian lihat, kalian akan mengatakanku sebagai seseorang yang….benar-benar bodoh!

                Jika menahan itu mudah, mungkin tak ada orang yang jerawatan, kebelet pup pada saat pelajaran Sejarah berlangsung, atau bahkan…tak ada cabe-cabean galau di malam minggu penuh duka haha. Sayangnya ini lebih mengenaskan dari semua itu. Mengapa harus ada move on? Dan kenapa tujuan dari move on itu sendiri malah berakhir bukan pada tujuan yang tepat? Siapa yang salah? Dan….mengapa hati begitu tak bisa dikendalikan? This world is hell!”


                Sekian curcolan dari seseorang bernama “Anggrek”. Sampai saat ini dia masih berkubang pada hati njelimetnya itu. Dan dia sedang butuh penolong!

Selasa, 10 Juni 2014

Titik yang Telah Pudar



               Karena pada dasarnya kebahagiaan itu dicari bukan ditunggu. Jika pada satu titik kalian tidak mendapatkan kebahagian, pergilah ke titik-titik lain. Karena yakinlah banyak titik di dunia yang dapat kalian jadikan kebahagiaan. Dan juga ingatlah, jangan pernah hanya terfokus pada satu titik. Karena bisa jadi titik fokus itu bukan merupakan titik kebahagiaan kalian. Bukan, aku bukan mengatakan boleh selalu berpindah, hanya saja menutup diri terhadap titik-titik baru dari dunia itu seperti keegoisan diri.
                
               Awan biru dengan pusat sebuah cahaya bundar. Nyata adanya, terbayangkan bahwa “titik kebahagiaan” salah satunya adalah sumber dari cahaya itu. Bercahaya memendar ke seluruh penjuru dunia seperti selalu ramah, berbagi tanpa pandang bulu. Seolah ras, suku, bangsa dan agama bukan batasan. Seharusnya seperti itulah kalian. Membagi diri menjadi kebahagiaan, bukan menunggu kebahagiaan yang tak ada jeluntrungnya.

                Mata itu pulang, seolah manyapa,”Hai, apakah kau merindukanku?”. Ingin sekali seseorang yang disapa itu mangatakan juga,”Ya, aku benar-benar merindukanmu,”. Tapi yakinlah salah satu “titik kebahagiaan”, dunia sekarang tak semudah itu. Seperti sekat emas yang telah terbicarakan, sekarang sekat itu benar-benar berdiri di antara gemuruh yang nyata. Ketika “titik kebahagiaan”mu bukanlah aku, sadarilah bahwa kau memang benar terlampau egois. Menutup diri dari titik-titik baru. Tidak bisakah rasionalismemu digunakan? Karena apa yang kau yakini, itulah yang akan terjadi. Aaah menghayal terlampau jauh ke belakang. Aku seharusnya sudah mengerti, bahwa titik kebahagiaan”ku itu memanglah…telah pudar.

7:30 PM. 10/06/2014
Tertanda,
Mata Angkasa



    Hihihi

Senin, 12 Mei 2014

Fantasi Keegoisan

        Seseorang sedang berbicara dengan hatinya, dan ini adalah percakapan mereka...
Orang : Selamat siang *memelas*
Hati  : Hallo, lama tak menyapaku. *senyum* Ada apa?
Orang : Hidupku...masalah lagi.
Hati  : Selalu saja, aaah...tak ada yang patut disalahkan. Itu garis hidup.
Orang : Mudah memang jika hanya berkata.  *menggerutu*
Hati  : Hahaha...baiklah baiklah. Ceritakan padaku.
Orang : Apa yang kau pikirkan jika mendengar kalimat dipandang sebelah mata?
Hati  : Seperti ini? *menutup mata sebelah kanannya dengan tangannya*
Orang : Aah...aku sedang tak ingin bercanda.
Hati  : Kau kira aku bercanda? *mengerutkan kening agak sebal*
Orang : Jelaslah, kau menjawab pertenyaanku seperti itu!
Hati  : Memang kau ingin aku menjawab seperti apa? Kalimat bijak tak berujung yang setara dengan 2 novel terjemahan? Aku sudah bosan
        berceramah kepadamu.
Orang : Haha...baiklah, jelaskan padaku tentang maksudmu.
Hati  : Kau paham pandangan orang tentang sebelah kiri, bukan?
Orang : Ya, tentu. Kiri itu buruk.
Hati  : Dan...
Orang : Kanan itu baik. Anak TK dan orang di panti jompopun mengerti itu.
Hati  : Cerdas! Yang aku pertanyakan mengapa kau tak bertanya "Mengapa harus mata kanan yang aku tutup, bukan mata sebelah kiri?"?
Orang : Memang kenapa? Bukankah itu hanya lelucon? Aku tak seberapa memermasalahkannya.
Hati  : Aah...kau kembali bodoh! Ini serius!
Orang : Hahaha baiklah, jelaskan Yang Mulia
Hati  : Aaah terserah kau sajalah. Jadi begini, "dipandang sebelah mata" identik dengan "pandangan orang yang negatif terhadap seseorang" atau
        objek permasalahan. Jika aku menutup mata sebelah kiri, artinya...
Orang : Hanya kebaikan yang mereka lihat terhdap orang itu? Sedangkan "dipandang sebelah mata" itu cocok dengan menutup mata sebelah
         kanan, karena hanya kejelekan yang bisa mereka lihat?
Hati  : Ya! Kau rupanya kembali cerdas haha
Orang : Orang bodoh tak selamanya ingin menjadi bodoh, hati *sok*
Hati  : Ya, benar juga. Mereka berbuat seperti itu karena mereka belum mengenalmu atau belum berusaha mengelnamu. Lantas apa yang salah
        dengan mereka. Ini hanya masalah waktu dan kedekatan.
Orang : Ya, bicara memang selalu mudah. Pertanyaan keduaku, apa yang akan kau lakukan jika kau dipandang sebelah mata?
Hati  : Ya tentu membuktikan kepada mereka jika itu tidaklah benar.
Orang : Kau tahu aku orang yang mudah terpengaruh dengan emosi. Pemikiran macam itu tak pernah terlintas dalam otakku.
Hati  : Jadi...apa yang kau lakukan?
Orang : Aku akan tetap menunjukkan bahkan membuka semuanya sisi yang sedang mereka lihat.
Hati  : Hei hei tenangkan dirimu!
Orang : Ini mungkin masalah logika yang terperangkap dalam perasaan. Tapi ketahuilah, aku sangat membenci orang munafik. Dan ini caraku
         menunjukkan kemarahan.
Hati  : Kendalikan dirimu, itu pemikiran yang benar-benar tak logis.
Orang : Terserah katamu, tapi ketidak-logisan ini membuatku berbeda. Aku memunyai cara sendiri untuk menyatakan hatiku dalam sikap dan
         perilaku. Tapi ini juga sisi egoisku. Aku hanya akan menunjukkan kepada mereka tentang apa yang mau mereka lihat. Jika mereka tak
         ingin melihat dan mengenal sisi baikku biarlah itu tersimpan rapi, jauh dan tak tersentuh oleh mata mereka.
Hati  : Apa maksudmu? Kau seperti orang yang benar-benar pesimis!
Orang : 17 tahun kau bersamaku, dan...kau tahu itulah aku.
Hati  : Tapi apa tujuanmu?
Orang : Agar mereka tak mengulang kesalahan yang sama. Sederhana, bukan?
Hati  : Kau terlalu gila, bagaimana mereka bisa tahu jika kau menyembunyikan sisi emasmu, sedang yang menjadi perhatian mereka hanya sisi
         sampahmu?
Orang : Sekali lagi, aku memunyai cara untuk menyatakan hatiku dalam sikap dan perilaku.
Hati  : Baiklah, lantas selanjutnya?
Orang : Setelah mereka benar-benar tak mengenal dan menyentuh sisi emasku, suatu saat pasti akan benar-benar terbuka. Aku yakin itu. Saat
          itulah mereka menyadari, mereka salah menilaiku.
Hati  : Lantas?
Orang : Mereka pasti akan menyesal, bukan? Nah, aku menggunakan sisi penyesalan mereka dengan secara tak langsung menjadikan mereka
         orang yang berpikiran terbuka dan mencoba memandang siapapun dari segala sisi.
Hati  : Ide menarik, tapi terlalu beresiko. Kau harus menguatkan hatimu. Langkah yang kau ambil bukan sabar kemudian ikhlas, tapi ikhlas
         dilanjut dengan sabar. Kau hebat!
Orang : Aaah...Aku tak sehebat itu, aku hanya manusia yang mendahulukan keegoisan dan anti mainstream wkwk
Hati  : Tentu aku percaya padamu haha. Selamat tidur dadaaaah
    Selesai bercakap-cakap dengan hatinya, dia mulai mengantuk dan kemudian tak lama tertidur. Pulas, ditemani mimpi yang menyenangkan. Jika arti hidup dan warna-warni dramanya menyusahkanmu, biarkan fantasi keegoisan mengembara dan menemukan sisi pemikiran yang unik. Percayalah cara yang berbeda membuatmu juga berbeda ;)

10:28
12/5/2014

Tertanda,


Mata Angkasa hihihi

Jumat, 02 Mei 2014

Jujur Vs Bohong



                Jika kau percaya mata adalah hal paling jujur yang ada di dunia ini, apakah kau juga percaya mata dapat berbicara tentang hati yang bahagia, terluka maupun kosong? Bagaimana dengan yang terucap dari lidah? Jika keduanya tak sinkron, siapa yang salah? Ya, pemiliknya. Percayalah mengontrol kebohongan lebih mudah daripada kejujuran. Kebohongan sering kali terucap lewat lidah yang tajam, namun kejujuran dengan halus menampak pada mata yang lembut. Inilah dunia, jika kusebut ini perusak maka akulah yang bodoh! Maka lebih baik kusebut ini warna dari panggung drama yang Ia ciptakan. Kau tidak mungkin merasakan kejujuran tanpa kebohongan, bukan? 

Rabu, 19 Maret 2014

Riwayat Kepakan Jantan Si Burung Merak yang Telah Terbang Selamanya



Buku biografi dengan judul “Rendra Berpulang” ditulis oleh Edi Haryono dengan tebal buku 381 halaman. Buku ini berisi kenangan-kenangan Rendra selepas kematiannya yang masih tertancap di hati dan ingatan baik orang-orang terdekatnya hingga tokoh-tokoh dunia di bidang satra dari luar negeri yang hanya sepintas mengenalnya. Rendra atau yang biasa disapa Mas Willy adalah salah satu maestro terbaik yang dimiliki Negara Indonesia dengan kiprahnya di dunia seni yang berani menantang politik “kaku” di era Orde Baru sehingga banyak dikenal dan dikagumi oleh orang-orang dari mancanegara.
           
Cover Biografi
Dramawan dan penyair yang terlahir dengan nama Willybrordus Surendra Broto Rendra ini merupakan anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Memang buah tak jatuh jauh dari pohonnya, ternyata darah seniman memang turun dari kedua orang tuanya. Ayah Rendra adalah seorang Guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katholik di Solo yang juga menyambi sebagai dramawan tradisional, sedang Ibunya adalah seorang penari Serimpi di Keraton Surakarta. Rendra menghabiskan masa kecil hingga remajanya di kota kelahirannya, Solo.

            Termasuk golongan yang terpelajar, ia bersekolah dimulai dari TK Marsudirini Yayasan Kanisius, SD-SMU Katholik St. Yosef Solo yang tamat pada tahun 1955 dan kemudian dilanjutkan dengan berkuliah di Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada namun tidak tamat.


            Seperti orang-orang berbakat lainnya, minat dan bakat Rendrapun telah terbaca sejak dini. Si kecil Rendra telah dikenalkan bagaimana cara membaca alam sekitarnya—meliputi masyarakat sosial, alam, penguasa dan kebijakan politiknya serta lain sebagainya—oleh Mas Janadi yang merupakan guru pribadi Rendra yang telah wafat saat dia kelas 5 SD. Ajaran Janadi kental dengan tradisi Jawa Suluk Demak yang dapat disimpulkan sebagai barikut: “Manjing ing kahanan, ngayuh kersaning Hyang Widhi” yang berarti masuk dalam kontekstualitas—berupa pemberian cinta kasih dan penebaran kharisma seniman pejuang—, meraih kehendak Allah. 

Minat yang terbangun sejak kecil itu dia wujudkan dengan berbagai peran yang dia mainkan di pementasan drama dan tulisan-tulisan pengubahnya. Layaknya Burung Merak yang mulai mencoba terbang, Rendra telah melakukan pementasan pertamanya saat di SMP yang berjudul “Kaki Palsu”. Tak berselang lama—saat SMA—dia mendapatkan pengharagaan pertamanya dengan drama “Orang-Orang di Tikungan Jalan”.
           
Seperti calon sastrawan sukses lain, Rendra tak lantas puas dengan penghargaan tersebut. Ia kembali berjuang di bidang seni dengan aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah—saat itu ia masih kuliah—, termasuk di Mingguan “Minggu Pagi”.

            Sepulang dari Rusia dan Korea Utara, tahun 1961, Rendra mendirikan grup teater di Yogyakarta. Akan tetapi grup itu terhenti saat ia pergi ke Amerika Serikat untuk memenuhi beasiswanya di American Academy of Dramatic Arts yang kemudian menghasilkan berbagai karya yang dikenal dunia karena diterjemahkan ke berbagai bahasa, salah satunya oleh seorang pakar sastra dari Australia.

            Ketika kembali lagi ke Indonesia (1967), ia membentuk grup teater yang bernama Bengkel Teater. Bengkel Teater ini sangat terkenal di seluruh Indonesia dan dapat memberikan suasana baru di kehidupan teater tanah air. Sampai sekarang Bengkel Teater masih berdiri dengan basis bagi kegiatan keseniannya, yang bertempat di Depok—telah dipindahkan dari Yogyakarta pada tahun 1983.

            Si Burung Merak ini mulai jatuh hati pada seorang gadis di usia 23 tahun. Gadis beruntung itu bernama Sunarti Soewandi, yang kemudian dipinangnya pada 31 Maret 1959 dan membuahkan lima anak, yaitu Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa dan Clara Sinta. Beberapa tahun kemudian, pemeran Syaiful dalam film “Al-Kautsar” ini menikahi Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putrid berdarah biru Keraton Yogyakarta. Dari Sitoresmi ia mendapatkan empat anak, yaitu Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi dan Rachel Saraswati. Dalam perkembangannya, Rendra menikah lagi dengan Ken Zuraida dengan sebelumnya ia menjadi muallaf, di mana Ken memberinya dua anak, yaitu Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Namun dekade akhir masa kehidupannya dia menceraikan kedua istrinya dan memilih hidup dengan Ken Zuraida hingga akhir hayatnya.

            Dalam kiprahnya di dunia seni Indonesia, Mas Willy ini dapat menulis banyak skenario pementasan drama diantaranya yang paling terkenal adalah Kisah Perjuangan Suku Naga yang mengambil tema lingkungan alam, kemudian Bip Bop, Rambaterata, Selamatan Anak Cucu Sulaiman, Mastondon dan Burung Kondor, dan Panembahan Reso (1986). Selain itu, ia juga menulis kumpulan puisi antara lain Balada Orang-orang Tercinta, Blues untuk Bonnie dan Potret Pembangunan dalam Puisi.

Melihat sejuta karyanya maka tak heran jika banyak penghargaan juga yang ia terima, seperti Hadiah Akademi Jakarta (1975), Hadiah Yayasan Buku Utama, Depatrtemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976), Penghargaan Adam Malik (1989), The SEA Write Award (1996) dan Penghargaan Achmad Bakrie (2006).
          
         Di penghujung tuanya, Rendra seperti lelah dengan kerusakan-kerusakan sosial, politik dan lingkungan alam yang coba ia ubah namun ia merasa kurang berhasil. Ya, ia menderita komplikasi yang cukup parah sehingga mencabut nyawanya pada usia 74 tahun, tepatnya pada hari Kamis tanggal 6 Agustus 2009 pukul 22.10 WIB di Perumahan Pesona Depok Blok AV No. 5 yang merupakan kediaman putrinya, Clara Sinta.
       
     Kematian Rendra cukup mengagetkan orang-orang di sekitarnya mengingat sehari sebelumnya ia melakukan cuci darah dan kondisinya membaik. Tapi apalah arti kehilangan, karena bagaimanapun takdir telah berbicara. Ia dikembalikan ke pangkuan Sang Khalik dengan manis, mengakhiri segala kesengsaraannya terhadap penyakitnya dan kekecewaan yang sering ia bicarakan tentang politik Indonesia kini.
        
       Dramawan yang termasuk 100 orang pengubah sejarah Indonesia ini, yang telah mencicipi beratnya hidup di penjara akibat karyanya yang berani “menyenggol’ kebijakan penguasa era Orde Baru banyak meninggalkan kenangan bagi orang-orang sekitarnya. Hingga tak luput dari sorotan mancanegara, berbagai ucapan bela sungkawa kepada keluarga berdatangan mengiringi kepergian Si Burung Merak yang telah terbang selamanya, meninggalkan bekas kepakan sayap yang jantan dan berani. Selamat jalan, Burung Merak. Temukan kedamaian dan keabadian di langit lepas!

Sabtu, 08 Maret 2014

Sang Penggerak



                Tersebutlah seorang wanita, bukan, dia hanya seorang remaja putri yang mencoba mengais harapan gemilang. Dia berdiri di depan sebagai seorang penggerak. Bukan organisasi elit, hanya organisasi yang disuper besarkan dengan memiliki banyak anggota. Padahal di kenyataannya sungguh terabaikan, anggota hanya mengikuti prosedural dengan keterpaksaan, bukan dengan hati. Layaknya seseorang yang tidak bekerja dengan hati, merekapun hanya mendapat…kertas berisi nilai setting-an. Aah sungguh munafiknya dunia. Kembali pada pokok pembicaraan, remaja putri itu memiliki wajah tegas dan garang, serta tekad dan niat ingin memperbaiki organisasi kasat mata itu. Bukan, bukan hanya untuk sebuah jabatan, dia murni dengan hati melakukannya. Fisik yang tak lembut itu berbanding terbalik dengan yang terkubur dalam hati dan pemikirannya. Dia sangat jeli, bisa membaca situasi dan bisa memimpin, sayang tiap orang tak diciptakan sempurna. Dia sangat ekspresif sehingga apapun yang dia lakukan selalu timbul akibat bisikan hati terkadang mendatangkan banyak masalah, belum lagi sifat berani bicaranya—di tempat yang dia nyamani yang pasti—membuat dia mati beberapa kali tlak karena tak dapat menutup pemikiran yang menerobos masuk ke kenyataan yang ada yang berusaha disembunyikan lawan bicaranya. Dia juga seseorang yang sosial, sehingga sulit untuk tidak tergantung pada orang lain. Kali ini dunia memang adil.
                
           Setelah perkenalan tadi, mungkin kalian dapat membayangkan bagaimana jungkir-baliknya dalam organisasi tersebut. Ditambah dengan sang kepala sekolah dan pembinanya yang sangat otoriter dan cari muka, dia digerakkan seperti tikus mainan. Jika berhasil para petinggi tersebut yang mendapat apresiasi atas hasil kerjanya, tapi jika gagal? Dia dibantai habis-habisan. Bukan, ini bukan sistem pendidikan yang ada di kepalanya. ”Ini pematian kreasi remaja!” kalau kata ayahnya. Sistem pendidikan dari organisasi yang dia ikuti yang ada di kepalanya saat itu adalah,”Kalian remaja, sedang pada masa emas, kreasi dan penghargaan adalah dua hal yang tak terpisahkan. Sedang alam? Mereka mendukung kita,” bertolak belakang dengan kenyataan yang ada. Mereka memperjuangkan semuanya, tenaga, pikiran, waktu dan uang tanpa batas mengalir dari kantong pribadi, tapi sialnya kegagalan selalu di depan mata karena sang penggerak itu memiliki kelemahan di sana-sini. Sialnya lagi, apresiasi yang dia dapat berkonotasi negatif dari berbagai pihak yang terlibat. Pengikutnya? Ha mereka benar-benar berarti pengikut, guardian angelnya hanyalah ayah dan ibunya.

                Pada dasarnya letak kelemahan berada pada titik kekuatan kalian. Itu 100% benar, sang penggerak itu sudah di puncak kesakitannya. Dia memang bukan orang yang ingin jasanya mendapat timbal balik yang besar, hanya sebuah penghargaan diri itu sudah cukup baginya. Toh sebagai siswa SMA yang didapat apa sih? Hanya nilai! Dan dari sebuah kegagalan apa yang dilihat? Ya, hasilnya. Sayang proses yang nyata terjadi terabaikan oleh publik.

                Dengan pandai dia mengundurkan diri menjadi seorang penggerak dan pemimpin dalam organisasi kasat mata tersebut. Orang seberlian itu tak seharusnya diapresiasi dengan negatif di lingkungan sekolahnya. Apalagi berlian itu belum benar-benar matang. Masih banyak kotoran dan pembentukan belum sempurna di sana-sini. Tentulah, dia masih remaja, bukan seorang dewasa yang telah berpengalaman dalam hidup bukan?