Buku
biografi dengan judul “Rendra Berpulang” ditulis oleh Edi Haryono dengan tebal
buku 381 halaman. Buku ini berisi kenangan-kenangan Rendra selepas kematiannya
yang masih tertancap di hati dan ingatan baik orang-orang terdekatnya hingga
tokoh-tokoh dunia di bidang satra dari luar negeri yang hanya sepintas mengenalnya.
Rendra atau yang biasa disapa Mas Willy adalah salah satu maestro terbaik yang
dimiliki Negara Indonesia dengan kiprahnya di dunia seni yang berani menantang politik
“kaku” di era Orde Baru sehingga banyak dikenal dan dikagumi oleh orang-orang
dari mancanegara.
Cover Biografi |
Dramawan
dan penyair yang terlahir dengan nama Willybrordus Surendra Broto Rendra ini
merupakan anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu
Catharina Ismadillah. Memang buah tak jatuh jauh dari pohonnya, ternyata darah
seniman memang turun dari kedua orang tuanya. Ayah Rendra adalah seorang Guru
Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katholik di Solo yang juga
menyambi sebagai dramawan tradisional, sedang Ibunya adalah seorang penari Serimpi
di Keraton Surakarta. Rendra menghabiskan masa kecil hingga remajanya di kota
kelahirannya, Solo.
Termasuk golongan yang terpelajar, ia bersekolah dimulai
dari TK Marsudirini Yayasan Kanisius, SD-SMU Katholik St. Yosef Solo yang tamat
pada tahun 1955 dan kemudian dilanjutkan dengan berkuliah di Jurusan Sastra
Inggris Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada namun tidak
tamat.
Seperti orang-orang berbakat lainnya, minat dan bakat
Rendrapun telah terbaca sejak dini. Si kecil Rendra telah dikenalkan bagaimana
cara membaca alam sekitarnya—meliputi masyarakat sosial, alam, penguasa dan
kebijakan politiknya serta lain sebagainya—oleh Mas Janadi yang merupakan guru
pribadi Rendra yang telah wafat saat dia kelas 5 SD. Ajaran Janadi kental dengan
tradisi Jawa Suluk Demak yang dapat disimpulkan sebagai barikut: “Manjing ing kahanan, ngayuh kersaning Hyang
Widhi” yang berarti masuk dalam kontekstualitas—berupa pemberian cinta
kasih dan penebaran kharisma seniman pejuang—, meraih kehendak Allah.
Minat
yang terbangun sejak kecil itu dia wujudkan dengan berbagai peran yang dia
mainkan di pementasan drama dan tulisan-tulisan pengubahnya. Layaknya Burung
Merak yang mulai mencoba terbang, Rendra telah melakukan pementasan pertamanya
saat di SMP yang berjudul “Kaki Palsu”. Tak berselang lama—saat SMA—dia mendapatkan
pengharagaan pertamanya dengan drama “Orang-Orang di Tikungan Jalan”.
Seperti
calon sastrawan sukses lain, Rendra tak lantas puas dengan penghargaan
tersebut. Ia kembali berjuang di bidang seni dengan aktif menulis cerpen dan
esai di berbagai majalah—saat itu ia masih kuliah—, termasuk di Mingguan “Minggu
Pagi”.
Sepulang dari Rusia dan Korea Utara, tahun 1961, Rendra
mendirikan grup teater di Yogyakarta. Akan tetapi grup itu terhenti saat ia
pergi ke Amerika Serikat untuk memenuhi beasiswanya di American Academy of Dramatic Arts yang kemudian menghasilkan
berbagai karya yang dikenal dunia karena diterjemahkan ke berbagai bahasa,
salah satunya oleh seorang pakar sastra dari Australia.
Ketika kembali lagi ke Indonesia (1967), ia membentuk
grup teater yang bernama Bengkel Teater. Bengkel Teater ini sangat terkenal di
seluruh Indonesia dan dapat memberikan suasana baru di kehidupan teater tanah
air. Sampai sekarang Bengkel Teater masih berdiri dengan basis bagi kegiatan
keseniannya, yang bertempat di Depok—telah dipindahkan dari Yogyakarta pada
tahun 1983.
Si Burung Merak ini mulai jatuh hati pada seorang gadis
di usia 23 tahun. Gadis beruntung itu bernama Sunarti Soewandi, yang kemudian
dipinangnya pada 31 Maret 1959 dan membuahkan lima anak, yaitu Teddy Satya
Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa dan Clara Sinta. Beberapa
tahun kemudian, pemeran Syaiful dalam film “Al-Kautsar” ini menikahi Bendoro
Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putrid berdarah biru Keraton Yogyakarta. Dari
Sitoresmi ia mendapatkan empat anak, yaitu Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi
Srikandi dan Rachel Saraswati. Dalam perkembangannya, Rendra menikah lagi
dengan Ken Zuraida dengan sebelumnya ia menjadi muallaf, di mana Ken memberinya
dua anak, yaitu Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Namun dekade akhir masa
kehidupannya dia menceraikan kedua istrinya dan memilih hidup dengan Ken
Zuraida hingga akhir hayatnya.
Dalam
kiprahnya di dunia seni Indonesia, Mas Willy ini dapat menulis banyak skenario pementasan
drama diantaranya yang paling terkenal adalah Kisah Perjuangan Suku Naga yang
mengambil tema lingkungan alam, kemudian Bip Bop, Rambaterata, Selamatan Anak
Cucu Sulaiman, Mastondon dan Burung Kondor, dan Panembahan Reso (1986). Selain itu,
ia juga menulis kumpulan puisi antara lain Balada Orang-orang Tercinta, Blues
untuk Bonnie dan Potret Pembangunan dalam Puisi.
Melihat
sejuta karyanya maka tak heran jika banyak penghargaan juga yang ia terima,
seperti Hadiah Akademi Jakarta (1975), Hadiah Yayasan Buku Utama, Depatrtemen
Pendidikan dan Kebudayaan (1976), Penghargaan Adam Malik (1989), The SEA Write Award (1996) dan
Penghargaan Achmad Bakrie (2006).
Di penghujung tuanya, Rendra seperti lelah dengan
kerusakan-kerusakan sosial, politik dan lingkungan alam yang coba ia ubah namun
ia merasa kurang berhasil. Ya, ia menderita komplikasi yang cukup parah
sehingga mencabut nyawanya pada usia 74 tahun, tepatnya pada hari Kamis tanggal
6 Agustus 2009 pukul 22.10 WIB di Perumahan Pesona Depok Blok AV No. 5 yang
merupakan kediaman putrinya, Clara Sinta.
Kematian Rendra cukup mengagetkan orang-orang di sekitarnya
mengingat sehari sebelumnya ia melakukan cuci darah dan kondisinya membaik. Tapi
apalah arti kehilangan, karena bagaimanapun takdir telah berbicara. Ia dikembalikan
ke pangkuan Sang Khalik dengan manis, mengakhiri segala kesengsaraannya
terhadap penyakitnya dan kekecewaan yang sering ia bicarakan tentang politik
Indonesia kini.
Dramawan yang termasuk 100 orang pengubah sejarah
Indonesia ini, yang telah mencicipi beratnya hidup di penjara akibat karyanya
yang berani “menyenggol’ kebijakan penguasa era Orde Baru banyak meninggalkan
kenangan bagi orang-orang sekitarnya. Hingga tak luput dari sorotan
mancanegara, berbagai ucapan bela sungkawa kepada keluarga berdatangan
mengiringi kepergian Si Burung Merak yang telah terbang selamanya, meninggalkan
bekas kepakan sayap yang jantan dan berani. Selamat jalan, Burung Merak. Temukan
kedamaian dan keabadian di langit lepas!