Rabu, 19 Maret 2014

Riwayat Kepakan Jantan Si Burung Merak yang Telah Terbang Selamanya



Buku biografi dengan judul “Rendra Berpulang” ditulis oleh Edi Haryono dengan tebal buku 381 halaman. Buku ini berisi kenangan-kenangan Rendra selepas kematiannya yang masih tertancap di hati dan ingatan baik orang-orang terdekatnya hingga tokoh-tokoh dunia di bidang satra dari luar negeri yang hanya sepintas mengenalnya. Rendra atau yang biasa disapa Mas Willy adalah salah satu maestro terbaik yang dimiliki Negara Indonesia dengan kiprahnya di dunia seni yang berani menantang politik “kaku” di era Orde Baru sehingga banyak dikenal dan dikagumi oleh orang-orang dari mancanegara.
           
Cover Biografi
Dramawan dan penyair yang terlahir dengan nama Willybrordus Surendra Broto Rendra ini merupakan anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Memang buah tak jatuh jauh dari pohonnya, ternyata darah seniman memang turun dari kedua orang tuanya. Ayah Rendra adalah seorang Guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katholik di Solo yang juga menyambi sebagai dramawan tradisional, sedang Ibunya adalah seorang penari Serimpi di Keraton Surakarta. Rendra menghabiskan masa kecil hingga remajanya di kota kelahirannya, Solo.

            Termasuk golongan yang terpelajar, ia bersekolah dimulai dari TK Marsudirini Yayasan Kanisius, SD-SMU Katholik St. Yosef Solo yang tamat pada tahun 1955 dan kemudian dilanjutkan dengan berkuliah di Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada namun tidak tamat.


            Seperti orang-orang berbakat lainnya, minat dan bakat Rendrapun telah terbaca sejak dini. Si kecil Rendra telah dikenalkan bagaimana cara membaca alam sekitarnya—meliputi masyarakat sosial, alam, penguasa dan kebijakan politiknya serta lain sebagainya—oleh Mas Janadi yang merupakan guru pribadi Rendra yang telah wafat saat dia kelas 5 SD. Ajaran Janadi kental dengan tradisi Jawa Suluk Demak yang dapat disimpulkan sebagai barikut: “Manjing ing kahanan, ngayuh kersaning Hyang Widhi” yang berarti masuk dalam kontekstualitas—berupa pemberian cinta kasih dan penebaran kharisma seniman pejuang—, meraih kehendak Allah. 

Minat yang terbangun sejak kecil itu dia wujudkan dengan berbagai peran yang dia mainkan di pementasan drama dan tulisan-tulisan pengubahnya. Layaknya Burung Merak yang mulai mencoba terbang, Rendra telah melakukan pementasan pertamanya saat di SMP yang berjudul “Kaki Palsu”. Tak berselang lama—saat SMA—dia mendapatkan pengharagaan pertamanya dengan drama “Orang-Orang di Tikungan Jalan”.
           
Seperti calon sastrawan sukses lain, Rendra tak lantas puas dengan penghargaan tersebut. Ia kembali berjuang di bidang seni dengan aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah—saat itu ia masih kuliah—, termasuk di Mingguan “Minggu Pagi”.

            Sepulang dari Rusia dan Korea Utara, tahun 1961, Rendra mendirikan grup teater di Yogyakarta. Akan tetapi grup itu terhenti saat ia pergi ke Amerika Serikat untuk memenuhi beasiswanya di American Academy of Dramatic Arts yang kemudian menghasilkan berbagai karya yang dikenal dunia karena diterjemahkan ke berbagai bahasa, salah satunya oleh seorang pakar sastra dari Australia.

            Ketika kembali lagi ke Indonesia (1967), ia membentuk grup teater yang bernama Bengkel Teater. Bengkel Teater ini sangat terkenal di seluruh Indonesia dan dapat memberikan suasana baru di kehidupan teater tanah air. Sampai sekarang Bengkel Teater masih berdiri dengan basis bagi kegiatan keseniannya, yang bertempat di Depok—telah dipindahkan dari Yogyakarta pada tahun 1983.

            Si Burung Merak ini mulai jatuh hati pada seorang gadis di usia 23 tahun. Gadis beruntung itu bernama Sunarti Soewandi, yang kemudian dipinangnya pada 31 Maret 1959 dan membuahkan lima anak, yaitu Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa dan Clara Sinta. Beberapa tahun kemudian, pemeran Syaiful dalam film “Al-Kautsar” ini menikahi Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putrid berdarah biru Keraton Yogyakarta. Dari Sitoresmi ia mendapatkan empat anak, yaitu Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi dan Rachel Saraswati. Dalam perkembangannya, Rendra menikah lagi dengan Ken Zuraida dengan sebelumnya ia menjadi muallaf, di mana Ken memberinya dua anak, yaitu Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Namun dekade akhir masa kehidupannya dia menceraikan kedua istrinya dan memilih hidup dengan Ken Zuraida hingga akhir hayatnya.

            Dalam kiprahnya di dunia seni Indonesia, Mas Willy ini dapat menulis banyak skenario pementasan drama diantaranya yang paling terkenal adalah Kisah Perjuangan Suku Naga yang mengambil tema lingkungan alam, kemudian Bip Bop, Rambaterata, Selamatan Anak Cucu Sulaiman, Mastondon dan Burung Kondor, dan Panembahan Reso (1986). Selain itu, ia juga menulis kumpulan puisi antara lain Balada Orang-orang Tercinta, Blues untuk Bonnie dan Potret Pembangunan dalam Puisi.

Melihat sejuta karyanya maka tak heran jika banyak penghargaan juga yang ia terima, seperti Hadiah Akademi Jakarta (1975), Hadiah Yayasan Buku Utama, Depatrtemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976), Penghargaan Adam Malik (1989), The SEA Write Award (1996) dan Penghargaan Achmad Bakrie (2006).
          
         Di penghujung tuanya, Rendra seperti lelah dengan kerusakan-kerusakan sosial, politik dan lingkungan alam yang coba ia ubah namun ia merasa kurang berhasil. Ya, ia menderita komplikasi yang cukup parah sehingga mencabut nyawanya pada usia 74 tahun, tepatnya pada hari Kamis tanggal 6 Agustus 2009 pukul 22.10 WIB di Perumahan Pesona Depok Blok AV No. 5 yang merupakan kediaman putrinya, Clara Sinta.
       
     Kematian Rendra cukup mengagetkan orang-orang di sekitarnya mengingat sehari sebelumnya ia melakukan cuci darah dan kondisinya membaik. Tapi apalah arti kehilangan, karena bagaimanapun takdir telah berbicara. Ia dikembalikan ke pangkuan Sang Khalik dengan manis, mengakhiri segala kesengsaraannya terhadap penyakitnya dan kekecewaan yang sering ia bicarakan tentang politik Indonesia kini.
        
       Dramawan yang termasuk 100 orang pengubah sejarah Indonesia ini, yang telah mencicipi beratnya hidup di penjara akibat karyanya yang berani “menyenggol’ kebijakan penguasa era Orde Baru banyak meninggalkan kenangan bagi orang-orang sekitarnya. Hingga tak luput dari sorotan mancanegara, berbagai ucapan bela sungkawa kepada keluarga berdatangan mengiringi kepergian Si Burung Merak yang telah terbang selamanya, meninggalkan bekas kepakan sayap yang jantan dan berani. Selamat jalan, Burung Merak. Temukan kedamaian dan keabadian di langit lepas!

Sabtu, 08 Maret 2014

Sang Penggerak



                Tersebutlah seorang wanita, bukan, dia hanya seorang remaja putri yang mencoba mengais harapan gemilang. Dia berdiri di depan sebagai seorang penggerak. Bukan organisasi elit, hanya organisasi yang disuper besarkan dengan memiliki banyak anggota. Padahal di kenyataannya sungguh terabaikan, anggota hanya mengikuti prosedural dengan keterpaksaan, bukan dengan hati. Layaknya seseorang yang tidak bekerja dengan hati, merekapun hanya mendapat…kertas berisi nilai setting-an. Aah sungguh munafiknya dunia. Kembali pada pokok pembicaraan, remaja putri itu memiliki wajah tegas dan garang, serta tekad dan niat ingin memperbaiki organisasi kasat mata itu. Bukan, bukan hanya untuk sebuah jabatan, dia murni dengan hati melakukannya. Fisik yang tak lembut itu berbanding terbalik dengan yang terkubur dalam hati dan pemikirannya. Dia sangat jeli, bisa membaca situasi dan bisa memimpin, sayang tiap orang tak diciptakan sempurna. Dia sangat ekspresif sehingga apapun yang dia lakukan selalu timbul akibat bisikan hati terkadang mendatangkan banyak masalah, belum lagi sifat berani bicaranya—di tempat yang dia nyamani yang pasti—membuat dia mati beberapa kali tlak karena tak dapat menutup pemikiran yang menerobos masuk ke kenyataan yang ada yang berusaha disembunyikan lawan bicaranya. Dia juga seseorang yang sosial, sehingga sulit untuk tidak tergantung pada orang lain. Kali ini dunia memang adil.
                
           Setelah perkenalan tadi, mungkin kalian dapat membayangkan bagaimana jungkir-baliknya dalam organisasi tersebut. Ditambah dengan sang kepala sekolah dan pembinanya yang sangat otoriter dan cari muka, dia digerakkan seperti tikus mainan. Jika berhasil para petinggi tersebut yang mendapat apresiasi atas hasil kerjanya, tapi jika gagal? Dia dibantai habis-habisan. Bukan, ini bukan sistem pendidikan yang ada di kepalanya. ”Ini pematian kreasi remaja!” kalau kata ayahnya. Sistem pendidikan dari organisasi yang dia ikuti yang ada di kepalanya saat itu adalah,”Kalian remaja, sedang pada masa emas, kreasi dan penghargaan adalah dua hal yang tak terpisahkan. Sedang alam? Mereka mendukung kita,” bertolak belakang dengan kenyataan yang ada. Mereka memperjuangkan semuanya, tenaga, pikiran, waktu dan uang tanpa batas mengalir dari kantong pribadi, tapi sialnya kegagalan selalu di depan mata karena sang penggerak itu memiliki kelemahan di sana-sini. Sialnya lagi, apresiasi yang dia dapat berkonotasi negatif dari berbagai pihak yang terlibat. Pengikutnya? Ha mereka benar-benar berarti pengikut, guardian angelnya hanyalah ayah dan ibunya.

                Pada dasarnya letak kelemahan berada pada titik kekuatan kalian. Itu 100% benar, sang penggerak itu sudah di puncak kesakitannya. Dia memang bukan orang yang ingin jasanya mendapat timbal balik yang besar, hanya sebuah penghargaan diri itu sudah cukup baginya. Toh sebagai siswa SMA yang didapat apa sih? Hanya nilai! Dan dari sebuah kegagalan apa yang dilihat? Ya, hasilnya. Sayang proses yang nyata terjadi terabaikan oleh publik.

                Dengan pandai dia mengundurkan diri menjadi seorang penggerak dan pemimpin dalam organisasi kasat mata tersebut. Orang seberlian itu tak seharusnya diapresiasi dengan negatif di lingkungan sekolahnya. Apalagi berlian itu belum benar-benar matang. Masih banyak kotoran dan pembentukan belum sempurna di sana-sini. Tentulah, dia masih remaja, bukan seorang dewasa yang telah berpengalaman dalam hidup bukan?