Di sebuah taman kota yang luas.
Awan hitam kemerahan pada malam ini, pertanda mendung yang pekat. Dia hening,
padahal sekitarnya berjubel puluhan orang. Mulai dari kumpulan
keluarga-keluarga bahagia hingga muda-mudi yang…. (kalian tahu apa yang
kumaksud, karena mungkin kalian salah satu di antara mereka haha *ups). Hening,
seolah memiliki dunia sendiri. Dia, sekarang sedang berjalan menuju tempat
duduk di salah satu bangku kosong taman yang di depannya berjajar aneka
panganan yang juga tak menarik minatnya sama sekali. Self talk, itulah
tujuannya datang ke keramaian.
Dia : *duduk* Apakah hidup sesulit ini?
Hatinya : Baru 17 tahun 363 hari kau hidup, sudah
mengeluh. Tak pernah kau tanyakan yang telah
hidup 70 tahun?
hidup 70 tahun?
Dia : Tak pernah, hidupku pun kurasa telah
sukar. Tak perlu menambahkan beban orang lain di
di pundakku.
di pundakku.
Hatinya : Begitu? Apakah empatimu telah hilang?
Dia : Bukan, bukan empati yang hilang.
Hanya…kurasa…kau semakin mengeras
Hatinya : Ya, kami mencoba bertahan untukmu
Dia : Aku kembali jatuh cinta
Hatinya : Hentikan! Apa kau bercanda?
Dia : Datang malam Sabtu begini sendirian
di tengah keramaian dan masih kau bilang aku bercanda?
Hatinya : Haha aku hanya memastikan. Boleh aku memberi
nasehat?
Dia : Tentu
Hatinya : Kami lelah bertahan untukmu, tapi salah jika
kami berhenti. Maka jangan jatuh cinta dulu
Dia : Kenapa? Bukankah itu suatu yang
wajar bagi seorang remaja?
Hatinya : Untuk saat ini, istirahatkan kami.
Perjalanan 2 tahun ini sangat
melelahkan. Tempaan di mana
-mana
-mana
Dia : Aku tahu
Hatinya : Mimpimu terlalu besar hanya untuk
berpura-pura di depan mereka
Dia : Lucu!
Hatinya : Aku tak sedang membuat lelucon
Dia : Bukan, bukan kau. Tapi aku
Hatinya : Mengapa?
Dia :
Aku dalam waktu 1 bulan ini berubah menjadi seseorang yang lain. Tak berhati,
tapi merasakan
jatuh cinta. Tak berempati, tapi bisa merasakan kesakitan. Seaneh inikah hidup menuju 18?
jatuh cinta. Tak berempati, tapi bisa merasakan kesakitan. Seaneh inikah hidup menuju 18?
Hatinya :
Haha alurmu sungguh luar biasa, jadilah sang pemilik sementara kami yang bijak
Dia :
Akan kucoba. Belum selesai, tunggu
Hatinya : Apalagi?
Dia :
Bisakah kau bertahan untukku sekali lagi?
Hatinya :
Imbalannya?
Dia :
Tak ada, aku tak punya apapun untukmu. Kecuali jika takdir berkata “bahagia”
Hatinya :
Terserah kau saja
Sadar dari “self talk”-nya, dia
memandang sekitar. Kemudian mengernyitkan kening melihat sisi kirinya.
Dilihatnya seseorang lelaki dengan baju kumal sedang lahap memakan Tahu Tek.
Seumuran, tapi terlihat lebih tua.
Dia : Siapa kau?
Lelaki : Manusia *makan dengan rakus*
Dia : Sejak kapan kau di sini?
Lelaki : Aku tak punya uang berlebih untuk membeli
jam, makan saja sudah susah
Dia : Astaga
Kemudian,”dia” melihat karung
bawaan lelaki itu yang berada tak jauh dari tempat lelaki itu duduk.
Dia : Itu…karung apa?
Lelaki : Apa kau tak pernah melihat pemulung di
rumahmu? *meletakkan piringnya di kursi taman
Dia : Emm…bukan...itu…
Lelaki :
Aku lapar, aku hanya ingin makan. Jangan ganggu aku *dengan nada memelas yang
tegas dan
meneruskan makan malamnya*
meneruskan makan malamnya*
Dia : *hanya melihat dengan wajah bingung
Belum selesai makan sang lelaki
membanting piringnya di bangku taman.
Lelaki : Kupikir kau ini berpendidikan! Apa yang
salah dari penampilanku? Hah?! *nada marah*
Dia : Eh anu, maaf tidak bermaksud. Aku
hanya…tersadar sesuatu
Lelaki : Aku tak peduli dengan kesadaranmu! Aku
marah. Sudah malas makan! Sekarang kau bayarkan
makananku! *berdiri dan men gambil karungnya lalu pergi
makananku! *berdiri dan men gambil karungnya lalu pergi
Dia : *hanya melongo lalu tertawa* Terima
kasih! *berteriak kepada lelaki itu*
Hatinya : Tolong katakan padaku bahwa kau lebih
mengenaskan disbanding lelaki tadi
Dia : Tidak! Aku merasa sangat beruntung.
Terima kasih telah mendatangkannya padaku
*tersenyum lalu membayar makanan lelaki tadi
*tersenyum lalu membayar makanan lelaki tadi